Istilah alloseksual kembali mencuat dalam diskusi seputar seksualitas dan orientasi seksual. Seringkali digunakan sebagai label untuk mereka yang tidak aseksual, alloseksual kemudian diasosiasikan sebagai "normal" karena dianggap sebagai orientasi mayoritas. Namun, benarkah demikian? Mari kita bedah lebih dalam.
Alloseksual secara sederhana merujuk pada individu yang mengalami ketertarikan seksual kepada orang lain. Ini berarti mereka memiliki hasrat seksual dan dapat merasakan dorongan untuk melakukan aktivitas seksual. Definisi ini jelas menempatkan alloseksual sebagai kebalikan dari aseksual, di mana individu tidak mengalami ketertarikan seksual.
Narasi yang menyebutkan alloseksual sebagai sesuatu yang "normal" atau "standar" di masyarakat adalah sebuah simplifikasi yang berbahaya. Konsep "normal" itu sendiri sangat subjektif dan dibentuk oleh konstruksi sosial. Memang benar bahwa sebagian besar masyarakat mengidentifikasi diri sebagai alloseksual, namun ini tidak lantas menjadikannya sebuah acuan mutlak untuk menilai orientasi seksual lain.
Also Read
Penting untuk dipahami bahwa orientasi seksual adalah sebuah spektrum, bukan dikotomi. Alloseksual, aseksual, dan berbagai identitas lain seperti biseksual, panseksual, homoseksual, dan sebagainya adalah ragam ekspresi seksualitas manusia. Masing-masing valid dan memiliki nilai yang sama. Tidak ada satu pun yang "lebih normal" atau "lebih benar" dari yang lain.
Mengasosiasikan alloseksual sebagai "normal" dapat berdampak pada marginalisasi dan stigmatisasi orientasi seksual lain, khususnya aseksual. Aseksual seringkali dianggap sebagai kondisi abnormal atau bahkan penyakit, padahal ini adalah orientasi seksual yang sah dan dialami oleh sebagian orang. Kita perlu menggeser pandangan dari pendekatan normatif menuju pendekatan yang inklusif dan menghargai keragaman.
Dalam konteks ini, kita tidak boleh terjebak pada narasi mayoritas. Mengakui bahwa alloseksual adalah orientasi seksual yang umum bukan berarti kita bisa mengabaikan atau menyepelekan keberadaan orientasi lain. Sebaliknya, kita perlu belajar untuk lebih peka, berempati, dan mendukung setiap individu dalam mengekspresikan identitas seksualnya.
Pendidikan seksual yang komprehensif adalah kunci untuk membuka pemahaman yang lebih luas tentang seksualitas manusia. Kita perlu mengajarkan kepada generasi muda bahwa perbedaan adalah hal yang indah dan bahwa setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai dengan cara yang mereka pilih. Menghilangkan stigma dan prasangka tentang orientasi seksual adalah tanggung jawab kita bersama.
Alloseksual bukan representasi "normalitas" dalam ranah seksualitas. Ia adalah salah satu warna dalam spektrum orientasi seksual yang luas. Mari kita rangkul perbedaan, rayakan keragaman, dan ciptakan dunia yang inklusif bagi semua orang, terlepas dari orientasi seksual mereka.