[Jakarta, Indonesia] – Suara pecahan kaca yang memekakkan telinga memecah keheningan siang itu. Seorang ibu rumah tangga, yang juga berprofesi sebagai guru, baru saja tiba di rumah saat jam istirahat sekolah. Belum sempat tangannya menyentuh gagang pintu, bunyi pranggg yang keras menyentak. Pemandangan di depan mata sungguh tak terduga: sang buah hati, Faqih, balita berusia 2 tahun 9 bulan, tertangkap basah telah menjatuhkan tutup panci kaca hingga berkeping-keping.
Kejadian ini mungkin akan memicu reaksi marah bagi sebagian besar orang tua. Namun, ibu ini memilih jalan yang berbeda. Ia tidak langsung menghakimi atau memarahi Faqih. Alih-alih, ia mengamati ekspresi terkejut dan bersalah yang terpancar jelas dari wajah mungil anaknya.
"Tampang bersalah dan terkejutnya itu sudah cukup," ujarnya dalam sebuah cerita yang dibagikannya. Ia lalu menggendong Faqih masuk ke kamar dan mendelegasikan tugas membersihkan pecahan kaca kepada suaminya. Di sinilah, ia menerapkan prinsip komunikasi produktif yang telah dipelajarinya.
Also Read
Faqih, di usia yang masih sangat belia, ternyata sudah menunjukkan pemahaman tentang perilaku yang benar dan salah. Ketika melakukan kesalahan, ia akan menunduk, terkejut sendiri, bahkan berlari ke kamar atau menutup mulut dengan kedua tangannya. Hal ini menunjukkan bahwa balita pun memiliki kesadaran tentang konsekuensi perbuatannya dan mampu merefleksikan emosi dirinya.
Setelah suasana lebih tenang, ibu ini mengajak Faqih berbicara. Dengan lembut, ia bertanya, "Faqih, tadi kenapa ya tutup pancinya jatuh?" Faqih hanya menggelengkan kepala. Ia tidak marah, justru berterima kasih. Ibu ini menduga, Faqih mungkin mengira ia akan marah atau justru merasa dihargai karena ia berusaha memahami perasaannya.
Pendekatan yang dipilih ibu ini sangat menarik. Ia telah mempraktikkan apa yang disebut komunikasi produktif, yaitu sebuah metode komunikasi yang mengedepankan nalar dan empati, bukan emosi. Dengan mengubah kalimat interogasi menjadi observasi, ia mampu memahami situasi dari sudut pandang Faqih, bukan sekadar menuntutnya untuk bertanggung jawab.
"Saat ada orang lain tidak melakukan apa yang saya inginkan, saya mulai merefleksikan diri. Apakah gaya berkomunikasi saya sudah benar? Apakah saya sudah memberi instruksi dengan benar?" katanya.
Momen ini memberikan pelajaran berharga bagi kita semua: bahwa setiap tindakan, bahkan kesalahan yang dilakukan balita sekalipun, adalah kesempatan untuk belajar dan berintrospeksi. Dengan komunikasi yang baik dan penuh empati, kita dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan memiliki kesadaran diri yang baik.
Lebih jauh lagi, artikel ini mengajarkan bahwa marah bukanlah solusi. Ketika kita marah, kita hanya akan menebarkan energi negatif yang tidak bermanfaat. Sebaliknya, dengan memahami dan berempati, kita justru dapat menciptakan lingkungan yang positif dan konstruktif.
Pesan dari kisah sederhana ini sangat relevan bagi para orang tua, khususnya para ibu yang seringkali harus menghadapi berbagai tantangan dalam mendidik anak-anaknya. Komunikasi produktif, dengan mengedepankan nalar dan empati, terbukti ampuh untuk menyelesaikan masalah dan membangun hubungan yang lebih baik dengan buah hati. Alih-alih marah, cobalah untuk mengolah emosi dan melihat situasi dari perspektif si kecil. Dengan begitu, kita tidak hanya mendidik anak, tetapi juga mendidik diri sendiri.