Siapa bilang kisah cinta kampus hanya milik mereka yang bernaung di bawah langit biru? Kisah romantis juga bisa bersemi di antara deretan gedung merah, tepatnya di Fakultas Hukum sebuah universitas ternama. Jika ‘Kampus Biru’ identik dengan Fakultas Sastra, maka kisah ini adalah tentang ‘Kampus Merah’ yang menyimpan cerita cinta tak terduga.
Bagi mahasiswa hukum, buku-buku tebal dan perdebatan sengit adalah makanan sehari-hari. Bukan lagi soal puisi atau film, melainkan pasal-pasal hukum dan kasus-kasus yang memicu otak berpikir keras. Di tengah hiruk pikuk perkuliahan yang padat, dua insan bertemu dan tanpa disadari, bibit cinta mulai tumbuh.
Keduanya berasal dari angkatan yang sama, namun tak pernah saling sapa hingga suatu hari, sebuah kelompok belajar mempertemukan mereka. Diskusi tentang KUHP, KUHPerdata, dan berbagai teori hukum yang awalnya terasa kaku, perlahan berubah menjadi obrolan ringan. Dari sekadar bertukar pendapat tentang pasal-pasal, mereka mulai berbagi cerita tentang mimpi, ketakutan, dan hal-hal personal lainnya.
Also Read
Berbeda dengan kisah di "Kampus Biru" yang dipenuhi bedah buku dan kajian seni, kedekatan di "Kampus Merah" ini justru berawal dari kegelisahan mencari jawaban atas persoalan hukum yang rumit. Seringkali, mereka menghabiskan waktu hingga larut malam di perpustakaan, berdiskusi dengan ditemani secangkir kopi. Kelelahan dan tekanan dari tugas-tugas yang menumpuk seolah menjadi bumbu pemanis dalam jalinan cinta mereka.
Pertemuan tak lagi hanya sebatas diskusi kelompok. Mereka mulai menghabiskan waktu bersama di luar jam kuliah. Warung kopi langganan di sekitar kampus menjadi saksi bisu kisah mereka. Dari sekadar makan siang bersama, mereka mulai berbagi tawa, cerita, dan dukungan satu sama lain. Sesekali, mereka juga meluangkan waktu untuk sekadar berjalan-jalan di taman kampus, mencari udara segar setelah berjam-jam berkutat dengan buku-buku hukum.
Sudut-sudut kampus, yang dulunya hanya dipandang sebagai tempat belajar, kini memiliki makna yang lebih dalam. Gazebo di taman, tempat mereka berdebat tentang interpretasi hukum, kini menjadi tempat mereka saling berbagi mimpi. Ruang diskusi yang penuh dengan coretan dan buku-buku, menjadi tempat pertama kali mereka saling mengakui perasaan. Bahkan, antrian panjang di kantin pun menjadi momen berharga untuk saling menggoda dan bercanda.
Kisah cinta di ‘Kampus Merah’ bukan sekadar tentang romansa kampus yang klise. Lebih dari itu, ini adalah kisah tentang bagaimana dua orang insan saling tumbuh dan berkembang di tengah kerasnya dunia hukum. Bagaimana mereka saling mendukung satu sama lain untuk menggapai cita-cita, dan bagaimana cinta bisa hadir bahkan di tempat yang paling tak terduga. Kisah ini mengingatkan bahwa cinta bisa bersemi di mana saja, asalkan ada hati yang tulus untuk menerimanya.
Kisah cinta mereka mungkin tidak se-puitis kisah di ‘Kampus Biru’, namun kesederhanaan dan ketulusannya membuat cinta mereka lebih bermakna. Kisah ini adalah bukti bahwa cinta, seperti hukum, punya banyak cara untuk menemukan jalannya. Dan bagi mereka yang merasakannya, ‘Kampus Merah’ akan selalu menjadi tempat di mana cinta mereka bersemi.