Lagu "Kiss It Better" milik Rihanna kembali mencuat ke permukaan, menjadi perbincangan hangat di media sosial. Dirilis pada tahun 2016 dalam album "Anti," lagu ini bukan sekadar deretan nada yang catchy, namun juga menyimpan cerita mendalam tentang dinamika hubungan yang kompleks. Diproduseri oleh Jeff Bhasker, lagu ini mengemas emosi yang campur aduk, antara kerinduan dan kekecewaan.
Lirik lagu ini seolah mengajak kita untuk masuk ke dalam pergulatan batin seseorang yang berjuang untuk merekatkan kembali hubungan asmaranya. Ia meyakini bahwa masih ada bara cinta yang membara di hati mantan kekasihnya. Namun, keyakinan itu berbenturan dengan keraguan dari sang mantan, yang tampaknya menyimpan luka dan kejemuan akibat perilaku di masa lalu.
"Aku pikir aku butuh itu kembali, tidak bisa melakukannya seperti itu, tidak ada orang lain yang akan mendapatkannya seperti itu," penggalan lirik ini mencerminkan adanya keinginan kuat untuk kembali bersama. Ada semacam keyakinan bahwa hubungan yang pernah dijalani itu istimewa, unik, dan tak mungkin tergantikan. Namun, di balik keyakinan itu terselip juga rasa putus asa.
Also Read
Konflik semakin terasa saat lirik-lirik berikut dilantunkan, "Jadi, mengapa bertengkar? Kau berteriak, tapi kau membawa aku kembali. Siapa peduli, ketika rasanya seperti candu?" Bagian ini menggambarkan bagaimana hubungan tersebut terjebak dalam siklus pertengkaran dan rekonsiliasi. Hubungan yang penuh drama dan naik turun seperti candu, menyakitkan namun sulit untuk ditinggalkan.
Uniknya, di tengah konflik dan drama yang terjadi, terdapat pengakuan jujur akan daya tarik dan pengaruh sang mantan. "Sayang, kau tahu bahwa kau selalu melakukannya dengan benar. Hanya ambil kembali, sayang, ambil kembali, sayang, ambil kembali sepanjang malam," lirik ini seolah mengakui bahwa ada sesuatu dalam diri sang mantan yang sangat memikat, bahkan mungkin memiliki kendali atas diri sendiri.
"Membuat vibe terluka, laki-laki, rasanya sakit di dalam ketika aku menatap matamu." Kalimat ini menyiratkan luka yang masih terasa dalam, menunjukkan bahwa hubungan tersebut tidak hanya sebatas chemistry semata, tetapi juga menyimpan kenangan yang menyakitkan.
Lebih dari sekadar lagu tentang hubungan yang retak, "Kiss It Better" juga menyentuh aspek psikologis dari hubungan yang toxic. Ada dinamika kuat antara keinginan untuk memperbaiki hubungan, di satu sisi, dan kesadaran akan potensi luka di sisi lain. Lagu ini seolah bertanya, apakah cinta yang terasa seperti candu layak untuk diperjuangkan, atau malah akan menjerumuskan kita ke dalam siklus yang menyakitkan?
Lagu ini bukan hanya tentang kerinduan, tetapi juga tentang pengakuan akan kerapuhan diri sendiri. Dalam dinamika hubungan, seringkali kita tidak hanya merindukan sosok pasangan, tetapi juga merindukan perasaan nyaman, aman, dan dicintai. "Kiss It Better" seolah mengajak kita untuk merefleksikan hubungan yang kita jalani. Apakah hubungan itu membangun atau justru merusak? Apakah kita terjebak dalam siklus candu yang hanya akan menyakiti diri sendiri?
"Kiss It Better" bukan hanya sekadar lagu untuk didengarkan, tetapi juga sebuah cermin untuk bercermin. Ia mengingatkan kita bahwa dalam urusan hati, terkadang kita perlu berani untuk melepaskan, bukan hanya sekadar memperbaiki. Karena terkadang, cinta yang terbaik adalah cinta yang membebaskan, bukan yang mengikat.