Gildcoustic, band yang digawangi Gilga Sahid, Indra Setiawan, dan Sufyan Baihaqi, sukses mencuri perhatian publik dengan lagu-lagu berlirik Jawa yang menyentuh. Salah satu karya mereka, "Kleru," telah didengarkan jutaan kali di YouTube, membuktikan bahwa musik dengan sentuhan lokal juga bisa merajai kancah musik nasional. Lagu ini bukan sekadar alunan musik, tetapi juga jendela untuk melihat perasaan terdalam tentang patah hati, kesalahan, dan penerimaan takdir.
"Kleru," yang berarti "salah" dalam bahasa Jawa, mengisahkan tentang seseorang yang terperangkap dalam labirin perasaan cinta yang tak terbalas. Liriknya menggambarkan betapa perihnya menyadari bahwa orang yang dicintai ternyata sudah memiliki tambatan hati lain. Di tengah dinginnya malam, perasaan sakit hati itu semakin terasa menusuk. Baris-baris lirik seperti "Masalah ati, anane mung kelaran" (Masalah hati, adanya hanya tersakiti) dan "Kenyataan loro ati, uwes sego jangan" (Kenyataan sakit hati, sudah jadi nasi sayur/kebiasaan) dengan gamblang menggambarkan bagaimana rasa sakit itu telah menjadi bagian dari keseharian.
Keinginan untuk bersatu dengan orang yang dicintai ternyata hanya menjadi angan-angan. Lirik "Pengenku karo kowe, tapi angel e kok koyok ngene" (Keinginanku bersamamu, tapi susahnya seperti ini) dan "Pancen salahku, kowe wis ono sing nduwe" (Memang salahku, kamu sudah ada yang memiliki) menyoroti betapa menyakitkannya kenyataan bahwa harapan tak lagi sejalan dengan realita. Kekacauan batin tergambar dalam kata-kata "Goblok e aku, ngarepke sing ora mesti" (Bodohnya aku, mengharapkan yang tidak pasti). Pengakuan ini menandakan sebuah proses introspeksi diri, sebuah kesadaran bahwa rasa sakit yang dialami adalah akibat dari kesalahan yang dilakukan.
Also Read
Namun, di balik kesedihan dan penyesalan, terselip sebuah pesan bijak tentang penerimaan. Lirik "Manut dalane gusti, iki apik e" (Ikut saja jalannya Tuhan, ini yang terbaik) dan "Manut ceritane, yen pancen ngene takdire" (Ikut saja ceritanya, jika memang ini takdirnya) menunjukkan bahwa di tengah badai patah hati, masih ada harapan untuk menemukan kedamaian dengan merelakan dan menerima takdir. Meski sulit, lirik lagu ini mengajak pendengar untuk berserah dan percaya bahwa ada rencana yang lebih baik dari yang dibayangkan.
Perjuangan untuk meraih cinta yang tak terbalas juga diceritakan dengan lugas dalam lirik "Aku sing nibo nangi berjuang dewe, mobat mabit rono rene nggo nyenengke kowe" (Aku yang berjuang jatuh bangun, tidak tenang kesana kemari untuk menyenangkan kamu). Perasaan lelah dan putus asa tergambar jelas, namun ada upaya untuk tetap mencoba, meski pada akhirnya harus menghadapi kenyataan pahit. Perumpamaan "Godong garing sing gogrok" (Daun kering yang gugur) juga menambah kesan melankolis, sebuah simbol kerapuhan dan penyesalan.
"Kleru" bukan sekadar lagu patah hati biasa. Melalui lirik-lirik yang sederhana namun penuh makna, Gildcoustic berhasil menangkap esensi dari perasaan yang dialami banyak orang saat menghadapi kegagalan cinta. Lebih dari itu, lagu ini juga memberikan sudut pandang baru tentang bagaimana kita bisa berdamai dengan diri sendiri dan menerima takdir, meski itu tidak mudah. Lagu ini adalah potret kehidupan yang jujur, yang mengajari kita bahwa setelah badai pasti ada pelangi, dan setiap kesalahan adalah guru yang berharga. "Kleru" menjadi pengingat bahwa di balik kesedihan, ada kekuatan untuk bangkit dan melanjutkan hidup.