Pernahkah terlintas di benak, mengapa kita hanya boleh menikah dengan satu orang? Jawabannya terletak pada asas monogami, sebuah prinsip yang mendasari hukum perkawinan di Indonesia. Namun, benarkah konsep ini berlaku mutlak? Mari kita bedah lebih dalam.
Asas Monogami dalam Hukum Perdata
Secara hukum perdata, Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dengan tegas menyatakan bahwa seorang pria hanya boleh terikat perkawinan dengan satu wanita, dan begitu pula sebaliknya. Prinsip ini mengakar kuat dan menjadi dasar sahnya sebuah pernikahan di mata hukum. Asas monogami ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dan melindungi hak-hak individu dalam perkawinan.
Monogami dan Fleksibilitas dalam UU Perkawinan
Meski hukum perdata menggariskan monogami, Undang-Undang Perkawinan (UU No. 16 Tahun 2019) memberikan sedikit ruang fleksibilitas. Di sini, hukum agama turut memainkan peran. UU Perkawinan memungkinkan seorang suami untuk berpoligami, dengan syarat memenuhi ketentuan agama yang dianut. Artinya, monogami tidak lagi menjadi aturan mutlak, namun lebih sebagai prinsip umum.
Also Read
Syarat Poligami: Bukan Sekadar Keinginan
Penting untuk digarisbawahi, poligami bukanlah perkara mudah. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari satu harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Permohonan ini akan dikabulkan jika memenuhi sejumlah syarat ketat, antara lain:
- Persetujuan dari istri pertama (atau istri-istri yang sudah ada): Persetujuan ini adalah syarat utama, meskipun ada pengecualian dalam beberapa kondisi khusus.
- Jaminan nafkah: Suami wajib menjamin kehidupan seluruh istri dan anak-anaknya secara layak.
- Jaminan keadilan: Suami harus mampu bersikap adil terhadap seluruh istri dan anak-anaknya.
Syarat-syarat ini dibuat untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak dalam perkawinan poligami. Jika suami melanggar asas monogami dengan menikah tanpa persetujuan istri pertama, ia dapat dijerat dengan pasal 279 KUHP dengan ancaman hukuman 5 hingga 7 tahun penjara.
Realita Poligami dan Dampaknya
Di balik aturan hukum, terdapat realita sosial yang kompleks. Poligami, meski diperbolehkan dalam kondisi tertentu, seringkali membawa konsekuensi yang tidak mudah. Konflik keluarga, ketidakadilan ekonomi, hingga dampak psikologis pada istri dan anak-anak kerap menjadi isu yang muncul.
Diskusi tentang monogami dan poligami bukan sekadar perdebatan hukum dan agama, namun juga refleksi tentang nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan perlindungan hak individu dalam sebuah hubungan. Memahami duduk perkara ini akan membantu kita bersikap lebih bijak dalam memaknai pernikahan dalam konteks masyarakat Indonesia yang beragam.
Kesimpulan
Monogami adalah asas utama dalam hukum perkawinan di Indonesia, namun tidak bersifat mutlak. Fleksibilitas diberikan melalui UU Perkawinan dengan syarat yang ketat demi melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak. Diskusi mengenai monogami dan poligami harus dilakukan secara komprehensif, mempertimbangkan hukum, agama, dan realita sosial yang ada.