Bulan Ramadan, bulan penuh berkah, seharusnya menjadi momen untuk meningkatkan ibadah dan pengendalian diri. Umat Muslim berlomba-lomba mencari pahala, termasuk menahan diri dari hawa nafsu, bukan hanya makan dan minum, tetapi juga hawa nafsu lainnya. Namun, pertanyaan sering muncul, bagaimana dengan pacaran saat berpuasa? Apakah pacaran membatalkan puasa? Yuk, kita bedah lebih dalam!
Pacaran, Istilah yang Asing dalam Islam
Perlu digarisbawahi, Islam sebenarnya tidak mengenal istilah pacaran. Kedekatan dengan lawan jenis yang bukan mahram, apalagi berduaan, sangat dilarang. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali berkhalwat (berduaan) dengan perempuan yang bukan mahram karena yang ketiga di antara mereka adalah setan.” Hadis ini memberikan gambaran jelas tentang betapa pentingnya menjaga jarak dengan lawan jenis yang belum terikat pernikahan.
Bahkan, berkirim pesan mesra atau chatting dengan pacar juga termasuk dalam kategori semi khalwat, meskipun tidak bertatap muka langsung. Aktivitas ini tetap dilarang dalam agama karena membuka celah bagi perbuatan yang lebih jauh.
Also Read
Tidak Membatalkan Puasa, Tapi…
Lantas, apakah berpacaran saat puasa, seperti chatting mesra, berduaan, atau bahkan bergandengan tangan, membatalkan puasa? Secara fiqih, jawabannya adalah tidak. Hal yang membatalkan puasa adalah keluarnya air mani dan hubungan intim. Selama aktivitas pacaran tidak sampai pada hal tersebut, puasa tetap sah secara hukum.
Namun, di sinilah letak persoalannya. Meski secara teknis tidak membatalkan puasa, pacaran tetap dianggap sebagai perbuatan maksiat. Ini yang menjadi poin penting. Kita harus memahami bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Lebih dari itu, puasa adalah latihan untuk mengendalikan diri dari segala bentuk hawa nafsu dan menjauhi perbuatan dosa.
Puasa yang Hampa, Tanpa Makna
Imam Al-Baydhowi pernah mengatakan bahwa puasa bukan hanya menahan diri dari lapar dan dahaga, tetapi juga mengekang syahwat dan mengajak jiwa pada kebaikan. Jika seorang Muslim berpuasa namun masih bermaksiat, termasuk dalam hal ini berpacaran, maka ada kemungkinan besar puasanya tidak diterima Allah SWT. Ini yang perlu kita renungkan.
Puasa yang diterima adalah puasa yang berkualitas. Puasa yang mampu membawa perubahan positif dalam diri kita, meningkatkan ketakwaan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika puasa hanya menahan lapar dan haus, namun hati masih dipenuhi dengan dosa, maka puasa kita menjadi hampa dan tak bermakna.
Bukan Sekadar Menahan Lapar
Ramadan seharusnya menjadi ajang refleksi dan perbaikan diri. Daripada menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dan berpotensi dosa, sebaiknya perbanyak ibadah, membaca Al-Qur’an, berzikir, dan melakukan amalan-amalan kebaikan lainnya.
Jadi, walaupun pacaran tidak membatalkan puasa secara hukum fiqih, sebaiknya jauhi perbuatan tersebut. Lebih baik fokus memaksimalkan ibadah di bulan Ramadan agar puasa kita diterima dan mendapatkan ridho Allah SWT. Ingat, kualitas puasa jauh lebih penting daripada sekadar kuantitas.