Jakarta, Indonesia – Film drama Vietnam, The Third Wife, karya sutradara Ash Mayfair, terus menjadi perbincangan hangat di kalangan pecinta film dan pengamat isu sosial. Dirilis pada tahun 2019, film ini memang berhasil mencuri perhatian dengan sinematografi indah dan akting para pemain yang memukau, bahkan meraih penghargaan Special Mention. Namun, di balik pujian tersebut, terselip kontroversi yang mendalam, terutama terkait eksploitasi anak dan praktik pernikahan usia dini.
The Third Wife mengisahkan May, seorang gadis berusia 14 tahun (diperankan oleh Nguyen Phuong Tra My yang saat produksi berusia 13 tahun), yang dipaksa menjadi istri ketiga dari seorang tuan tanah kaya raya. Latar belakang cerita di abad ke-19 ini menggambarkan realitas pahit di mana perempuan kerap kali dijadikan objek transaksi ekonomi dan perputaran status sosial. Perjalanan May di tengah keluarga poligami ini, yang penuh intrik, drama, dan persaingan antar istri, menjadi inti dari alur cerita.
Lebih dari Sekadar Drama Keluarga:
Bukan sekadar drama keluarga poligami, The Third Wife sebenarnya mengangkat isu-isu krusial yang masih relevan hingga saat ini. Film ini tanpa tedeng aling-aling menyoroti betapa rentannya anak perempuan terhadap praktik pernikahan usia dini dan eksploitasi seksual. Adegan-adegan seksual yang melibatkan May dengan suaminya yang jauh lebih tua menuai kritik tajam, karena dianggap tidak etis dan mengeksploitasi anak di bawah umur.
Also Read
Penting untuk digarisbawahi, bahwa film ini bukan sekadar hiburan semata. The Third Wife adalah jendela yang membuka mata kita terhadap realitas sosial yang menyakitkan dan kerap kali terabaikan. Meskipun disajikan dalam konteks sejarah, isu pernikahan anak dan eksploitasi perempuan tetap menjadi momok yang menghantui banyak negara di seluruh dunia.
Mengapa The Third Wife Layak Didiskusikan:
Kontroversi di seputar film ini justru membuka ruang diskusi yang penting. Apakah kita bisa mengapresiasi karya seni yang kuat secara estetika, namun mengandung pesan yang problematik? Apakah batasan etis dalam pembuatan film, khususnya ketika melibatkan aktor anak di bawah umur? The Third Wife memaksa kita untuk mempertanyakan kembali nilai-nilai yang kita anut, dan bagaimana kita memandang perempuan dan anak dalam masyarakat.
Lebih jauh lagi, film ini juga mengingatkan kita bahwa isu pernikahan anak bukanlah sekadar cerita masa lalu. Praktik ini masih terjadi di berbagai belahan dunia, dengan konsekuensi yang mengerikan bagi anak perempuan. Mereka kehilangan masa kecil, hak atas pendidikan, kesehatan, dan masa depan yang cerah.
Refleksi dan Aksi:
The Third Wife bukan sekadar tontonan. Film ini adalah pengingat bahwa kita semua memiliki tanggung jawab untuk melindungi anak-anak dari praktik eksploitasi dan pernikahan usia dini. Dengan menyadari masalah ini dan terus berdiskusi, kita dapat mendorong perubahan positif dan menciptakan dunia yang lebih aman dan adil bagi anak-anak, terutama anak perempuan. Mari jadikan karya seni ini sebagai pemantik kesadaran, bukan sekadar hiburan belaka.