Dalam rimba kehidupan, ada cerita yang tak lekang oleh waktu, tentang Tekukur, burung yang konon dikenal boros dan tak pandai menabung. Kisahnya bukan sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan cerminan perilaku yang sering kita temui di dunia nyata. Mari kita telaah lebih dalam, dengan perspektif yang segar.
Si Boros yang Lupa Hari Esok
Tekukur, dalam legenda, digambarkan sebagai burung yang hidup tanpa rencana. Setiap hari ia terbang kesana kemari, tanpa memikirkan persediaan untuk hari esok. Makanan yang didapat, langsung dilahap habis. Tak ada sisa, tak ada tabungan. Kontras dengan Betet, yang bijak menyisihkan sebagian rezekinya, Tekukur justru larut dalam kenikmatan sesaat.
Musim Paceklik dan Penyesalan Mendalam
Ketika musim paceklik tiba, Tekukur kalang kabut. Mencari makan ke segala penjuru, ia tak menemukan apa pun. Kegersangan melanda, dan perutnya keroncongan. Sementara itu, Betet dan keluarganya hidup berkecukupan, berkat tabungan yang mereka kumpulkan. Di tengah keputusasaan, Tekukur meminta pertolongan pada Betet, yang dengan berat hati memberi pinjaman padi, dengan imbalan yang menyayat hati: satu anak Tekukur harus menjadi teman bagi anak-anak Betet.
Also Read
Harga yang Terlalu Mahal
Meski padi pinjaman menyelamatkan nyawa mereka untuk sementara, penyesalan menusuk kalbu Tekukur. Mereka tak sanggup melihat anaknya hidup terpisah, dan menyadari betapa bodohnya mereka tidak meniru Betet. Musim panen yang ditunggu terasa masih sangat jauh. Air mata penyesalan menetes, dan rasa bersalah menghantui mereka.
Alap-Alap, Sang Pemberi Pelajaran
Kisah ini mencapai klimaksnya saat Alap-Alap, burung yang dikenal memiliki pandangan tajam, datang menghardik Tekukur. Ia mengecam tindakan Tekukur yang menukar anak sendiri dengan padi, dan mengingatkan betapa pentingnya kasih sayang dan mempersiapkan diri untuk masa depan. Kata-kata Alap-Alap bagai cambuk yang memukul-mukul Tekukur, menyadarkan mereka akan kesalahan fatal yang telah diperbuat.
“Kaduhung, Kaduhung” yang Membekas
Di tengah kesedihan dan penyesalan, Tekukur betina melantunkan ratapan, “kaduhung, kaduhung, kaduhung.” Sementara Tekukur jantan merespon dengan “kaduhung, aduh, aduh.” Dari ratapan inilah, konon suara khas burung Tekukur tercipta. “Tekukur” dan “tekukur, guk, guk”, menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya perencanaan, menabung, dan kasih sayang.
Pelajaran Berharga untuk Kita Semua
Kisah Tekukur bukan sekadar cerita tentang burung. Ini adalah metafora kehidupan. Kita seringkali terjebak dalam kenikmatan sesaat, lupa mempersiapkan diri untuk hari esok. Kita menghamburkan uang tanpa perhitungan, menunda pekerjaan penting, dan mengabaikan orang-orang terdekat. Padahal, hidup tak selalu berjalan mulus. Ada kalanya kita menghadapi kesulitan, dan saat itu, penyesalan tak akan ada gunanya.
Mari kita belajar dari Tekukur. Jangan menjadi boros dan lalai. Hidup dengan perencanaan, sisihkan sebagian rezeki untuk masa depan, dan jangan pernah melupakan kasih sayang. Ingatlah, penyesalan selalu datang terlambat.