"Semoga Allah memberikan kebahagiaan hidupmu nanti ya, biar ga doyan julid lagi ama dede." Kalimat ini mungkin terdengar familiar di telinga kita, terutama di jagat media sosial. Di balik kata-kata yang terkesan menyindir, terselip sebuah harapan, sebuah doa agar mereka yang gemar berkomentar negatif, yang seringkali dilabeli "emak julid", dapat menemukan kebahagiaan sejati.
Fenomena "emak julid" memang bukan barang baru. Di tengah hiruk pikuk kehidupan daring, komentar-komentar pedas, nyinyir, bahkan merendahkan seolah menjadi makanan sehari-hari. Targetnya pun beragam, mulai dari gaya hidup selebriti, pilihan busana, hingga cara mengasuh anak. Ironisnya, seringkali mereka yang melontarkan komentar negatif ini adalah sesama perempuan, bahkan sesama ibu.
Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah kebahagiaan yang kurang menjadi pemicunya? Tentu saja tidak sesederhana itu. Ada berbagai faktor yang mungkin melatarbelakangi, mulai dari rasa iri, frustrasi, hingga kurangnya validasi diri. Mungkin saja, mereka sedang berjuang dengan masalahnya sendiri, dan melampiaskannya melalui komentar-komentar pedas di media sosial.
Also Read
Namun, bukan berarti kita harus membenarkan perilaku ini. Komentar negatif, apalagi yang dilontarkan di depan publik, dapat memberikan dampak yang sangat besar, khususnya bagi mereka yang menjadi target. Dampaknya bisa beragam, mulai dari hilangnya rasa percaya diri, depresi, hingga trauma berkepanjangan.
Penting untuk kita sadari, bahwa dibalik setiap komentar, ada manusia dengan segala permasalahannya. Daripada membalas dengan komentar yang sama pedasnya, kita bisa mencoba memahami dan berempati. Mungkin saja, "emak julid" ini sebenarnya sedang membutuhkan pertolongan, atau sekadar didengarkan.
Kita bisa mulai dengan menahan diri untuk tidak ikut menyebarkan energi negatif. Mari, ubah kebiasaan kita berkomentar dengan lebih bijak. Sebelum jari kita mengetik, tanyakan pada diri sendiri, apakah komentar ini akan memberikan dampak positif? Jika tidak, lebih baik diam atau menyampaikannya secara pribadi dengan cara yang lebih santun.
Kalimat "Semoga Allah memberikan kebahagiaan hidupmu nanti ya, biar ga doyan julid lagi ama dede" sebenarnya adalah sebuah doa yang tulus. Di balik sindiran, terselip harapan agar semua orang, termasuk mereka yang gemar berkomentar negatif, bisa menemukan kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupnya. Karena, ketika hati kita dipenuhi kebahagiaan, tidak ada ruang lagi untuk melontarkan komentar pedas dan nyinyir. Mari ciptakan lingkungan daring yang lebih sehat dan positif.