Dunia pendidikan kembali dihebohkan dengan isu hukuman fisik pada siswa, khususnya terkait dengan pemangkasan rambut. Benarkah mencukur rambut siswa yang dianggap tidak rapi bisa berujung pidana? Jawabannya, ya. Undang-Undang Perlindungan Anak memberikan rambu-rambu yang jelas mengenai perlakuan terhadap anak, termasuk dalam ranah pendidikan.
Cukur Rambut Bukan Solusi, Bisa Jadi Pidana
Tindakan mencukur rambut siswa, yang seringkali dianggap sebagai hukuman ringan, ternyata bisa memiliki konsekuensi hukum serius. Komisioner KPAI, Susanto, menegaskan bahwa hukuman fisik, termasuk mencukur rambut, bukanlah solusi yang edukatif. Alih-alih mendisiplinkan, tindakan ini justru bisa merusak psikologis anak dan tidak menjamin perubahan perilaku jangka panjang. Menurutnya, guru perlu mencari metode yang lebih konstruktif untuk menanamkan nilai-nilai disiplin.
Payung Hukum yang Melindungi Siswa
Lantas, pasal berapa yang mengatur hal ini? Undang-Undang Perlindungan Anak memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi anak-anak. Dua pasal yang relevan dalam konteks ini adalah:
Also Read
-
Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak: Pasal ini melarang tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan kerugian, baik materiil maupun moril, hingga menghambat fungsi sosialnya. Pelanggaran pasal ini dapat dipidana dengan penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda hingga Rp 100 juta. Cukur rambut paksa, yang berpotensi menimbulkan rasa malu dan kerugian psikologis, dapat dikategorikan sebagai tindakan diskriminatif.
-
Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak: Pasal ini melarang tindakan kekerasan, ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak. Pelanggaran pasal ini dapat dipidana dengan penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda hingga Rp 72 juta. Jika tindakan mencukur rambut dilakukan secara paksa dan disertai kekerasan fisik atau ancaman, maka tindakan tersebut bisa masuk dalam kategori ini.
Kasus Nyata: Guru Nyaris Dipenjara karena Cukur Rambut Siswa
Kasus guru SD di Majalengka, Jawa Barat, yang nyaris dipenjara karena mencukur rambut siswanya yang gondrong, menjadi bukti nyata bahwa aturan ini bukan isapan jempol belaka. Kejadian ini harus menjadi pengingat bagi semua pihak, khususnya guru dan tenaga pendidik, bahwa tindakan apapun yang melibatkan anak harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan mengedepankan pendekatan yang edukatif.
Refleksi: Pendidikan yang Humanis dan Berpihak pada Anak
Kasus ini membuka mata kita bahwa pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan siswa dengan hormat dan penuh kasih sayang. Disiplin memang penting, tetapi cara mencapainya tidak boleh dengan merendahkan atau melukai anak. Perlu adanya pemikiran ulang mengenai metode pendisiplinan yang lebih manusiawi dan berpihak pada kepentingan terbaik anak.
Penting untuk diingat, guru bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Peran orang tua dan masyarakat juga sangat penting dalam mengawasi dan memastikan bahwa anak-anak mendapatkan perlindungan yang layak. Dengan kesadaran dan pemahaman yang baik, kita bisa menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan kondusif bagi perkembangan anak-anak Indonesia.