Di tengah belenggu penjajahan dan diskriminasi, muncul seorang perempuan yang berani menentang arus zaman. Raden Dewi Sartika, bukan sekadar nama dalam buku sejarah, melainkan simbol perlawanan dan dedikasi terhadap pendidikan kaum perempuan. Ia adalah pahlawan yang tak hanya berjuang di medan perang, tetapi juga di ruang-ruang kelas, membuka jalan bagi perempuan pribumi untuk meraih ilmu pengetahuan.
Era kolonial Belanda menciptakan jurang pemisah yang dalam antara kaum elit dan rakyat jelata, terutama dalam hal pendidikan. Akses ke sekolah hanya menjadi hak istimewa segelintir orang, sementara mayoritas anak-anak pribumi, terutama perempuan, terpinggirkan. Di sinilah, jiwa pemberontak Dewi Sartika tergerak. Ia tak rela melihat ketidakadilan ini terus berlanjut.
Sejak usia belia, Dewi Sartika telah menunjukkan kepeduliannya terhadap nasib sesama. Di Cicalengka, ia diam-diam mengajari anak-anak pembantu membaca dan menulis, menggunakan arang dan pecahan genting sebagai alat bantu belajar. Aksinya ini bukan sekadar permainan anak-anak, melainkan benih dari cita-cita besar untuk mendirikan sekolah bagi kaum perempuan.
Also Read
Kepindahannya ke Bandung tidak memadamkan semangat Dewi Sartika. Ia justru semakin memantapkan niatnya untuk mewujudkan sekolah perempuan. Dukungan dari pamannya, Bupati Martanagara, yang awalnya ragu karena adat yang membatasi peran wanita, akhirnya berhasil ia raih berkat ketekunan dan keyakinannya yang kuat.
Pada 16 Januari 1904, tonggak sejarah tercipta. Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri, sekolah perempuan pertama di Hindia Belanda. Sebuah langkah revolusioner yang membuka pintu bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Bersama dua saudaranya, Poerwa dan Oewid, ia mengajar 20 siswi angkatan pertama di pendopo Kabupaten Bandung.
Sekolah ini bukan sekadar tempat belajar membaca dan menulis, tetapi juga wadah untuk membekali perempuan dengan berbagai keterampilan, seperti merenda, memasak, dan menjahit. Dewi Sartika menyadari bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka peluang bagi perempuan, baik secara intelektual maupun ekonomi.
Antusiasme masyarakat terhadap Sakola Istri begitu besar. Jumlah murid terus bertambah hingga ruang belajar di pendopo dan kepatihan tidak lagi mencukupi. Dewi Sartika tak menyerah. Ia membeli lahan di Jalan Ciguriang, Kebon Cau, dan dengan dana pribadi serta bantuan dari Bupati Bandung, ia membangun sekolah yang lebih representatif.
Kegigihan Dewi Sartika menjadi inspirasi bagi daerah lain. Sekolah-sekolah perempuan mulai bermunculan di berbagai wilayah Pasundan, hingga mencapai seluruh wilayah Pasundan pada tahun 1920. Namun, perjuangan Dewi Sartika juga menghadapi ujian berat. Krisis keuangan global dan Perang Dunia I sempat membuat sekolahnya harus berhenti beroperasi.
Dewi Sartika adalah potret pahlawan sejati yang berani mendobrak tradisi dan berjuang untuk kesetaraan gender melalui pendidikan. Warisannya bukan hanya sekolah-sekolah yang ia dirikan, tetapi juga semangat perjuangan yang terus menginspirasi perempuan Indonesia hingga kini. Ia membuktikan bahwa pendidikan adalah hak semua orang, dan perempuan memiliki peran penting dalam membangun bangsa. Dewi Sartika, pahlawan yang tak pernah lekang oleh waktu.