Langit kelabu, bumi bergejolak. Istilah Dukhon kembali mencuat, bukan sekadar mitos kuno, melainkan sebuah pertanda kiamat yang tertulis dalam lembaran suci agama. Dukhon, dalam bahasa Arab berarti asap, hadir bukan sebagai asap biasa, tetapi sebagai kabut pekat yang akan menelan bumi dan seisinya. Apakah ini hanya dogma agama atau ada korelasi dengan temuan sains modern?
Artikel sebelumnya telah mengulas Dukhon sebagai salah satu dari sekian banyak tanda kiamat kubra, yang disebutkan dalam hadits riwayat Muslim. Dukhon hadir bersamaan dengan kemunculan Dabbah, makhluk mengerikan yang akan memangsa segala yang hidup di bumi. Bukan hanya dalam hadits, Al-Quran melalui surah Ad-Dukhan ayat 10-11 pun menyinggung tentang asap yang menjadi pertanda kiamat, juga dikaitkan dengan kelaparan orang Quraisy dan debu tebal saat penaklukan Mekkah.
Namun, mari kita telaah lebih dalam. Dukhon bukan sekadar asap, melainkan simbol kehancuran yang dahsyat. Hadits dan Al-Quran menggambarkan Dukhon akan menutupi bumi selama 40 hari 40 malam, meredupkan seluruh cahaya. Peristiwa ini bukan sekadar fenomena meteorologi biasa, tetapi sebuah malapetaka kosmik yang kemungkinan besar dipicu oleh benturan benda langit dengan bumi.
Also Read
Korelasi antara Dukhon dan benturan benda langit menjadi titik temu antara dogma agama dan sains. Ilmuwan modern pun tak menutup mata pada kemungkinan bencana kosmik akibat tabrakan asteroid atau komet. Dampaknya bisa sangat dahsyat, memicu perubahan iklim ekstrem, letusan gunung berapi, dan guncangan hebat yang berpotensi menghasilkan debu dan asap yang sangat tebal dan meluas, layaknya deskripsi Dukhon.
Dengan demikian, Dukhon bukan lagi hanya sekadar mitos agama, tetapi juga peringatan tentang kerentanan bumi terhadap ancaman kosmik. Memahami Dukhon bukan berarti memprediksi waktu kiamat, melainkan untuk meningkatkan kesadaran kita tentang urgensi menjaga planet ini. Kita perlu lebih serius dalam meneliti ancaman benda langit dan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk.
Dukhon, dengan segala misterinya, mengajarkan kita bahwa alam semesta tidak selalu ramah dan terkendali. Bencana bisa datang kapan saja, tanpa diduga. Oleh karena itu, kita perlu berintrospeksi, tidak hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai umat manusia secara keseluruhan. Menghadapi potensi malapetaka kosmik seharusnya menjadi panggilan untuk bersatu, bukan saling menghancurkan.
Penting untuk diingat bahwa Dukhon adalah tanda, bukan tujuan. Ia adalah pengingat tentang kefanaan dunia dan kewajiban kita untuk berbuat baik. Mempelajari Dukhon bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk meningkatkan kesadaran kita akan akhir zaman yang mungkin saja terjadi. Dengan kesadaran ini, semoga kita bisa hidup dengan lebih bertanggung jawab dan bijaksana.