Kongres Perempuan Indonesia, sebuah tonggak penting dalam sejarah bangsa, mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Namun, di balik gaungnya yang mungkin tak selalu terdengar, tersimpan perjuangan panjang kaum perempuan Indonesia untuk meraih kesetaraan dan kemajuan. Mari kita telusuri lebih dalam jejak sejarah kongres ini, bukan hanya sebagai peristiwa masa lalu, tetapi juga sebagai inspirasi bagi kita di masa kini.
Semangat Kartini: Bara yang Memantik Api Perjuangan
Semangat perjuangan R.A. Kartini menjadi pemicu utama lahirnya Kongres Perempuan Indonesia. Kartini, dengan pemikirannya yang visioner, menyadari bahwa perempuan Indonesia harus memiliki akses terhadap pendidikan dan pengetahuan untuk mencapai derajat yang layak. Semangat ini kemudian menginspirasi para perempuan hebat lainnya untuk bersatu dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Yogyakarta, Awal Mula Pertemuan dan Persatuan
Kongres Perempuan Indonesia I berlangsung di Pendopo Joyodipuran, Yogyakarta, pada tanggal 22-25 Desember 1928. Lebih dari seribu peserta, mewakili 30 organisasi perempuan dari Jawa dan Sumatra, berkumpul untuk menyatukan cita-cita dan usaha memajukan perempuan Indonesia. Momentum ini bukan sekadar pertemuan biasa, tetapi sebuah deklarasi persatuan dan tekad untuk bergerak bersama. Hasil dari kongres ini adalah pembentukan Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI), sebuah federasi yang menjadi wadah bagi perjuangan perempuan.
Also Read
Tanggal 22 Desember yang menjadi tanggal kongres pertama, kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu, sebuah bentuk penghormatan atas peran dan perjuangan perempuan Indonesia.
Kongres Lanjutan: Memperluas Cakupan Perjuangan
Perjuangan tidak berhenti di kongres pertama. Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta (20-24 Juli 1935) menegaskan dasar perjuangan pada nasionalisme, sosialisme, dan keperempuanan. Kongres ini menunjukkan bahwa perjuangan perempuan tidak terpisah dari perjuangan bangsa, tetapi saling terkait dan memperkuat.
Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung (23-28 Juli 1938) lebih jauh membahas tentang persamaan hak dan harga diri perempuan dengan laki-laki, menekankan bahwa persamaan harus didasarkan pada kodrat dan kewajiban masing-masing. Di sini, kita melihat adanya upaya untuk menyeimbangkan antara kesetaraan gender dan nilai-nilai budaya yang ada.
Kongres Perempuan Indonesia IV di Semarang (25-28 Juli 1941) menghasilkan keputusan yang lebih konkret, seperti menganjurkan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran di sekolah menengah atas, dan mendesak agar perempuan juga diberikan kesempatan untuk duduk di Dewan Kota. Kongres ini juga menolak wajib militer yang terbatas untuk bangsa Indonesia, menunjukkan bahwa perempuan juga terlibat aktif dalam isu-isu politik dan kenegaraan.
Lebih dari Sekadar Sejarah: Relevansi di Masa Kini
Kongres Perempuan Indonesia bukanlah sekadar catatan sejarah. Ia adalah pengingat bahwa perjuangan untuk kesetaraan gender adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Semangat yang dikobarkan para perempuan hebat di masa lalu masih relevan dengan tantangan yang kita hadapi saat ini.
Di era modern ini, ketika isu kesetaraan gender semakin mengemuka, kita perlu belajar dari para pendahulu kita. Kita perlu melanjutkan perjuangan mereka dengan cara yang sesuai dengan konteks zaman. Pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan keterlibatan aktif dalam ruang publik menjadi senjata utama kita untuk mencapai kesetaraan yang kita impikan.
Kongres Perempuan Indonesia bukan hanya tentang pertemuan dan deklarasi, tetapi tentang semangat persatuan, keberanian, dan keyakinan bahwa perempuan juga memiliki peran penting dalam membangun bangsa. Mari kita jaga api perjuangan ini agar terus menyala, menginspirasi generasi mendatang untuk mewujudkan cita-cita kesetaraan yang telah lama diperjuangkan.