Konvensi Ketatanegaraan Mengakar dalam Sistem Hukum Indonesia

Dian Kartika

Remaja & Pendidikan

Konvensi ketatanegaraan, sebuah istilah yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, ternyata memiliki peran yang sangat signifikan dalam sistem hukum Indonesia. Bukan sekadar kesepakatan tak tertulis, konvensi ini hadir sebagai norma yang hidup dan mengikat, bahkan bisa dikatakan setara dengan undang-undang dalam beberapa aspek. Mari kita telusuri lebih dalam mengenai kedudukan dan contoh konkretnya dalam konteks Indonesia.

Bukan Sekadar Tradisi, Tapi Norma yang Mengikat

Seringkali, konvensi ketatanegaraan disalahartikan sebagai tradisi atau kebiasaan politik semata. Padahal, ia lebih dari itu. Konvensi ketatanegaraan adalah praktik ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang, diterima, dan ditaati sebagai suatu norma hukum yang meskipun tidak tertulis dalam undang-undang. Kekuatannya terletak pada pengakuan dan penerimaan luas dalam praktik penyelenggaraan negara.

Dalam sistem hukum Indonesia, konvensi ini bukan hanya sekadar pelengkap, melainkan pilar penting yang menopang konstitusi. Ia mengisi kekosongan hukum yang tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang dasar atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian, konvensi memberikan fleksibilitas dan dinamika dalam penyelenggaraan negara, memungkinkan hukum untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Konvensi dan Undang-Undang, Saling Melengkapi

Memang benar, Pasal 11 UUD 1945 mengatur mengenai perjanjian internasional yang telah diratifikasi, yang memiliki kekuatan hukum setara dengan undang-undang. Namun, konvensi ketatanegaraan yang kita bahas di sini berbeda. Ia tidak harus berupa perjanjian internasional yang diratifikasi. Ia lahir dari praktik ketatanegaraan yang terus menerus dilakukan dan diakui sebagai norma.

Artinya, konvensi tidak menggantikan undang-undang, melainkan melengkapinya. Ia mengisi celah-celah hukum yang tidak terjangkau oleh peraturan tertulis. Contohnya, dalam tata cara pelantikan presiden, meskipun undang-undang mengatur garis besarnya, praktik pidato kenegaraan setiap 16 Agustus menjelang peringatan kemerdekaan menjadi konvensi yang menguatkan tradisi kebangsaan.

Contoh Konkret dalam Praktik Ketatanegaraan

Beberapa contoh konvensi ketatanegaraan dalam praktik di Indonesia, yang sering kita saksikan, antara lain:

  • Upacara Bendera 17 Agustus: Bukan sekadar seremonial, upacara ini menjadi wujud penghormatan dan pengakuan terhadap kemerdekaan. Ia juga menjadi media untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan.
  • Pidato Kenegaraan Presiden: Setiap 16 Agustus, presiden menyampaikan pidato yang berisi capaian dan rencana kerja pemerintah. Pidato ini bukan hanya laporan, tetapi juga tradisi yang menjadi bagian dari peringatan kemerdekaan.
  • Pemasangan Foto Presiden dan Wakil Presiden: Di setiap kantor pemerintahan, foto pemimpin negara terpasang. Ini bukan hanya dekorasi, melainkan simbol penghormatan terhadap lembaga kepresidenan.
  • Pembentukan Kabinet: Presiden memiliki hak prerogatif untuk memilih menteri. Praktik ini menjadi konvensi yang mengikat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  • Penyusunan RAPBN: Proses penyampaian dan persetujuan RAPBN antara pemerintah dan DPR adalah konvensi penting dalam sistem keuangan negara.
  • Program 100 Hari Kerja: Walaupun tidak tertulis dalam hukum, publik mengharapkan adanya program 100 hari kerja sebagai wujud pertanggungjawaban pemerintah.
  • Pemberian Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi: Presiden memiliki hak untuk memberikan pengampunan kepada terpidana, dengan pertimbangan hukum dan keadilan. Ini menjadi konvensi yang menjaga keseimbangan antara hukum dan kemanusiaan.

Konvensi: Cerminan Nilai dan Perkembangan Masyarakat

Konvensi ketatanegaraan bukan sesuatu yang statis. Ia terus berkembang seiring dengan dinamika masyarakat dan perubahan nilai-nilai yang dianut. Konvensi yang berlaku hari ini, mungkin akan berbeda di masa mendatang. Yang terpenting adalah konvensi tetap menjadi cerminan nilai-nilai luhur bangsa dan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara yang demokratis dan berkeadilan.

Dengan memahami kedudukan konvensi ketatanegaraan, kita tidak hanya memahami hukum secara tekstual, tetapi juga secara kontekstual. Konvensi adalah roh dari praktik ketatanegaraan, yang memberikan warna dan dinamika pada sistem hukum Indonesia. Dengan begitu, kita dapat lebih menghargai dan berpartisipasi dalam pembangunan negara.

Baca Juga

20 Inspirasi Model Rambut Bob Pendek Wanita: Tampil Segar dan Stylish

Husen Fikri

Siapa bilang rambut pendek itu membosankan? Model rambut bob pendek justru menawarkan fleksibilitas dan kesan yang segar. Dari gaya yang ...

Raim Laode Komika Wakatobi Viral Lewat Lagu Komang

Dea Lathifa

Wajahnya mungkin tak asing lagi menghiasi layar kaca, seorang komika yang kini menjelma jadi penyanyi dengan lagu yang menggema di ...

Cahyaniryn: Dari Purwodadi Merajai TikTok, Profil, Karir, dan Kisah Inspiratif di Balik Layar

Dea Lathifa

Fenomena selebriti TikTok terus bermunculan, dan salah satu yang paling mencuri perhatian adalah Cahyaniryn. Bukan sekadar joget-joget biasa, gadis asal ...

Efektivitas Reklame: Lebih dari Sekadar Papan Iklan Besar

Dea Lathifa

Reklame, sering kali kita temui dalam bentuk papan iklan raksasa di pinggir jalan, ternyata memiliki peran yang jauh lebih dalam ...

Cinta Tak Padam Meski Cemburu Membara: Mengulik Makna "Dengan Caraku"

Dea Lathifa

Lagu "Dengan Caraku" yang dipopulerkan oleh Brisia Jodie dan Arsy Widianto, kembali menghiasi perbincangan para penikmat musik. Dirilis pada 2018, ...

Tulip Jingga Simbol Kebahagiaan dan Kehangatan dari Turki ke Seluruh Dunia

Maulana Yusuf

Bunga tulip, dengan kelopaknya yang elegan dan warna-warni cerah, telah lama memikat hati banyak orang di seluruh dunia. Namun, tahukah ...

Tinggalkan komentar