Masjid Al Aqsa, bukan sekadar tempat ibadah bagi umat Muslim. Ia adalah kompleks suci yang menyimpan jejak sejarah panjang, menjadi saksi bisu pertautan tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi. Ironisnya, di balik kesuciannya, terbentang pula kisah konflik yang tak kunjung usai. Mari kita telusuri jejak sejarah masjid ini, dengan perspektif yang lebih mendalam.
Al Aqsa: Perebutan Simbol dari Masa ke Masa
Sejarah mencatat, Masjid Al Aqsa pernah mengalami perubahan kepemimpinan dan fungsi. Setelah penaklukan Yerusalem oleh Shalahuddin Al Ayyubi pada tahun 1187, jejak peribadahan Kristen di kompleks ini dihilangkan, dan masjid kembali pada fungsi asalnya sebagai tempat ibadah umat Islam. Namun, kedamaian itu tak berlangsung lama.
Setelah Perang Enam Hari, Israel mengambil alih kendali Kota Lama Yerusalem, termasuk Masjid Al Aqsa. Perayaan keagamaan oleh Kepala Rabi Israel di area masjid dan Tembok Barat menandai dimulainya era baru. Ziarah massal umat Yahudi ke area tersebut menjadi simbol klaim atas tanah yang juga dianggap suci oleh mereka. Peristiwa ini memicu ketegangan yang kian meruncing.
Also Read
Konflik dan Aksi Provokasi yang Tak Berujung
Sejak saat itu, serangkaian peristiwa provokatif terus mewarnai sejarah Masjid Al Aqsa. Mulai dari upaya pembakaran masjid, penembakan terhadap jemaah, hingga rencana peledakan oleh kelompok ekstremis, semua menambah luka dalam sejarah masjid ini. Insiden-insiden ini bukan hanya menciptakan ketegangan antarumat beragama, tetapi juga memperkuat polarisasi politik yang mendalam.
Aksi provokasi tidak berhenti pada tindakan kekerasan. Upaya untuk meletakkan batu penjuru di lokasi yang diklaim sebagai Kuil Baru oleh umat Yahudi, sebagai simbol penghancuran masjid-masjid Muslim, memicu protes besar-besaran. Meskipun upaya ini berhasil dihalangi oleh pemerintah Israel, insiden ini memperlihatkan bahwa klaim atas tempat suci ini masih menjadi bara api yang siap menyala.
Kunjungan provokatif Ariel Sharon, seorang pemimpin oposisi Israel, ke Masjid Al Aqsa pada tahun 2000 menjadi titik balik yang memicu Intifadhah Kedua. Peristiwa ini menunjukkan betapa sensitifnya isu Al Aqsa dan betapa mudahnya tempat ini menjadi arena konflik yang meluas.
Ironi dan Upaya Pelestarian
Di tengah konflik yang tak berkesudahan, ada upaya pelestarian yang patut diapresiasi. Pemerintah Yordania, misalnya, melakukan renovasi besar-besaran terhadap Kubah Shakhrah dan Mimbar Shalahuddin. Langkah ini menunjukkan bahwa di tengah konflik yang terjadi, masih ada upaya untuk menjaga warisan sejarah dan budaya di Masjid Al Aqsa.
Namun, upaya pelestarian ini seperti oase di tengah gurun konflik. Setiap kali ketegangan mereda, selalu ada insiden baru yang kembali membakar amarah dan memperpanjang lingkaran kekerasan. Peristiwa penembakan oleh tiga pria keturunan Arab terhadap polisi Israel pada tahun 2017, serta penutupan masjid dan pelarangan shalat bagi umat Muslim, adalah bukti bahwa Masjid Al Aqsa masih menjadi episentrum konflik yang belum menemukan solusi.
Al Aqsa: Lebih dari Sekadar Tempat Ibadah
Masjid Al Aqsa bukan sekadar tempat ibadah bagi umat Muslim. Ia adalah simbol sejarah, identitas, dan politik bagi banyak pihak. Konflik di sekitarnya bukan hanya masalah agama, tetapi juga perebutan kekuasaan dan klaim atas wilayah.
Memahami sejarah Masjid Al Aqsa bukan hanya soal menelusuri jejak masa lalu, tetapi juga tentang menyadari betapa rumitnya konflik yang terjadi. Di tengah ketegangan yang tak kunjung usai, kita perlu mencari jalan keluar yang tidak hanya memuaskan satu pihak, tetapi juga menghormati hak semua orang untuk beribadah dengan damai. Masjid Al Aqsa, dengan segala cerita dan kontradiksinya, mengingatkan kita tentang pentingnya dialog, toleransi, dan upaya bersama untuk mewujudkan perdamaian.