Sultan Ageng Tirtayasa, nama yang tak lekang dari catatan sejarah Indonesia, bukan sekadar penguasa Banten. Ia adalah simbol perlawanan terhadap penjajahan, seorang pemimpin yang gigih menghadapi cengkeraman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Perjuangannya bukan hanya tentang kekuasaan, melainkan juga tentang kemakmuran rakyat dan kedaulatan tanah air.
Lahir pada tahun 1631 dengan nama Pangeran Surya, Tirtayasa tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Pergantian gelar dari Pangeran Surya menjadi Pangeran Dipati hingga akhirnya menjadi Sultan Abdul Fattah Muhammad Syifa Zainal Arifin, menandai perjalanan kepemimpinannya yang penuh tantangan. Ia naik tahta dalam usia muda, menunjukkan kematangan dan kesiapan untuk memimpin Banten.
Puncak kejayaan Banten di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa tak lepas dari keberaniannya menentang VOC. Sistem perdagangan VOC yang dinilai merugikan rakyat Banten menjadi alasan utama perlawanan sang sultan. Bukan hanya sekadar menentang, Tirtayasa juga membangun fondasi ekonomi yang kuat. Perluasan lahan sawah dan pembangunan irigasi menjadi bukti nyata keberpihakan sang sultan pada rakyat. Ia tak hanya memikirkan keuntungan kesultanan, namun juga kesejahteraan rakyat Banten secara menyeluruh.
Also Read
Sultan Ageng Tirtayasa memahami bahwa kekuatan sebuah negara tidak hanya terletak pada kekuatan militer, tetapi juga pada kualitas sumber daya manusia. Pondok pesantren didirikan sebagai pusat pendidikan agama, mencetak generasi yang berakhlak dan berilmu. Ia memadukan pembangunan fisik dan spiritual, mewujudkan Banten yang maju dan berkarakter.
Tak hanya itu, Sultan Ageng Tirtayasa juga piawai dalam diplomasi. Ia membuka pintu bagi pedagang dari berbagai negara seperti Inggris, Prancis, Denmark, dan Portugis. Interaksi dagang dengan Tiongkok, India, dan Persia pun diperluas. Hal ini menunjukkan visi sang sultan yang jauh ke depan, memanfaatkan potensi perdagangan untuk kemakmuran Banten dan mematahkan monopoli VOC. Ia tidak hanya pasif menghadapi VOC tetapi aktif membangun jaringan dan mencari dukungan dari berbagai bangsa.
Konfrontasi dengan VOC tak terhindarkan. Sultan Ageng Tirtayasa bahkan mengirim kapal-kapal untuk mengganggu aktivitas VOC. Keberaniannya adalah cerminan semangat perlawanan yang tak pernah padam. Sayangnya, perjuangan heroik ini harus berakhir dengan penangkapan Sultan Ageng Tirtayasa dan wafatnya beliau di penjara Batavia pada tahun 1683. Jenazahnya dimakamkan di sebelah utara Masjid Agung Banten, mengukir sejarahnya dalam ingatan kolektif bangsa.
Gelar pahlawan nasional yang disematkan kepada Sultan Ageng Tirtayasa berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, adalah pengakuan negara atas jasa-jasanya yang begitu besar. Ia bukan hanya sekadar sosok dalam sejarah, tetapi juga inspirasi bagi generasi penerus untuk terus berjuang demi kedaulatan dan kemerdekaan. Sultan Ageng Tirtayasa, Sang Singa Banten, akan terus dikenang sebagai pahlawan yang tak pernah menyerah pada penjajah. Perjuangannya adalah teladan bahwa keberanian dan visi yang kuat dapat mengubah arah sejarah.