Maluku Utara, gugusan pulau eksotis yang kaya akan rempah, menyimpan kisah heroik seorang pahlawan: Sultan Nuku. Sosok yang juga dikenal sebagai Muhammad Amiruddin ini bukan hanya sekadar keturunan Sultan Jamaluddin dari Kesultanan Tidore, melainkan juga simbol perlawanan gigih terhadap penjajahan Belanda. Perjuangannya menjadi salah satu babak penting dalam sejarah Indonesia, sebuah pertarungan demi kemerdekaan dan kedaulatan.
Prahara Rempah dan Awal Perlawanan
Daya pikat rempah Maluku memang luar biasa. Bangsa Eropa, khususnya Belanda dengan VOC-nya, datang untuk menguasai perdagangan ini. VOC, dengan cengkeraman monopolinya, tak segan melakukan intervensi politik di kerajaan-kerajaan lokal, termasuk Kesultanan Tidore. Penolakan Sultan Jamaluddin terhadap keinginan Belanda untuk mendirikan kantor dagang di Tidore berujung pada pengasingannya ke Batavia. Hal ini menciptakan kekosongan kekuasaan yang kemudian dimanfaatkan Belanda untuk ikut campur dalam penentuan suksesi.
Intervensi Belanda inilah yang memicu amarah Sultan Nuku. Ia melihat bahwa kedaulatan Tidore terancam. Bukan hanya soal perdagangan, tetapi juga tentang harga diri dan kemerdekaan rakyatnya. Dengan tekad membara, Nuku mulai menggalang kekuatan. Ia bukan sekadar seorang pewaris tahta, tetapi juga seorang pemimpin yang lahir dari situasi genting.
Also Read
Strategi dan Taktik Perang Gerilya Laut
Sultan Nuku tidak gegabah. Ia memahami betul bahwa melawan Belanda, dengan kekuatan militer yang lebih unggul, membutuhkan strategi matang. Fokus awal perlawanannya adalah di sekitar Pulau Seram dan Irian Jaya. Di sana, ia membangun pertahanan dan melatih pasukannya. Armada kora-kora, kapal perang tradisional Maluku, menjadi andalannya dalam pertempuran di laut. Perang gerilya laut menjadi taktik utamanya, memanfaatkan pengetahuan mendalam tentang medan perairan Maluku.
Meskipun sempat mengalami kekalahan dan kehilangan benteng di Pulau Seram pada tahun 1787, Sultan Nuku tidak menyerah. Ia membangun kembali pertahanan di Pulau Gorong. Kali ini, ia mengambil langkah cerdas dengan menjalin aliansi dengan Inggris, rival Belanda saat itu. Bantuan dari Inggris memperkuat pasukannya dan memberikan angin segar dalam pertempuran. Belanda pun mengalami kerugian besar dan mulai goyah.
Kemenangan yang Membawa Kedaulatan
Serangkaian pertempuran sengit pun terjadi. Pada tahun 1796, Sultan Nuku berhasil merebut kembali Pulau Banda, sebuah kemenangan signifikan yang menunjukkan kekuatannya semakin besar. Setahun kemudian, momentum kemenangan terus berlanjut. Sultan Nuku berhasil merebut kembali Tidore, memaksa Sultan Kamaluddin, boneka Belanda, untuk melarikan diri ke Ternate.
Setelah kematian Sultan Kamaluddin, rakyat Tidore dengan bulat mengangkat Sultan Nuku sebagai sultan mereka. Pengangkatan ini bukan hanya sekadar peralihan tahta, melainkan juga simbol kembalinya kedaulatan Tidore setelah sekian lama berada di bawah bayang-bayang Belanda. Perjuangan panjang Sultan Nuku akhirnya membuahkan hasil, membuktikan bahwa semangat perlawanan dan persatuan dapat mengalahkan penjajahan.
Lebih dari Sekadar Perlawanan
Kisah Sultan Nuku bukan sekadar catatan sejarah tentang perlawanan terhadap penjajahan. Ia adalah simbol keberanian, kepemimpinan, dan kecerdasan dalam menghadapi tantangan. Nuku mengajarkan kita bahwa kedaulatan dan kemerdekaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, bahkan dengan nyawa sekalipun. Perjuangannya juga mengingatkan kita akan pentingnya persatuan dan kerja sama dalam meraih tujuan bersama. Lebih dari itu, kisah Sultan Nuku adalah pengingat bahwa Maluku bukan hanya indah secara alamiah tetapi juga kaya akan sejarah kepahlawanan yang patut untuk terus digali dan diwariskan.
Kisah Sultan Nuku adalah inspirasi bagi generasi muda untuk tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan. Semangatnya yang membara dan perjuangannya yang tak kenal lelah harus terus menjadi api yang membakar semangat persatuan dan nasionalisme. Warisan Sultan Nuku bukan hanya sekadar cerita masa lalu, tetapi juga energi bagi masa depan Indonesia yang lebih baik.