Delapan tahun sudah berlalu, namun duka mendalam masih menyelimuti keluarga Akseyna Ahad Dori. Mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) ini ditemukan tak bernyawa di Danau Kenanga, kampus UI Depok pada 26 Maret 2015. Awalnya dianggap bunuh diri, kasus ini kemudian bergeser menjadi pembunuhan setelah ditemukan sejumlah kejanggalan yang mengerikan. Sayangnya, hingga kini, pelaku pembunuhan Akseyna masih bebas berkeliaran, meninggalkan luka keadilan yang tak kunjung usai.
Kronologi Pilu dan Titik Balik Penyelidikan
Keluarga terakhir berkomunikasi dengan Akseyna pada 21 Maret 2015. Keganjilan mulai terasa saat pesan sang ibu tak kunjung dibalas. Hingga akhirnya, jasad Akseyna ditemukan di danau kampus pada 26 Maret. Polisi sempat menyimpulkan kematian Akseyna sebagai bunuh diri pada 8 April 2015. Namun, keyakinan ini berubah drastis setelah ditemukannya "surat wasiat" yang keasliannya diragukan. Pada 25 Mei 2015, kasus ini resmi naik status menjadi kasus pembunuhan.
Kejanggalan yang Tak Terbantahkan
Kejanggalan dalam kasus ini begitu mencolok. "Surat wasiat" ternyata ditulis oleh dua orang yang berbeda, mengindikasikan adanya rekayasa. Luka lebam di sekujur tubuh Akseyna, termasuk kepala, dada, alis, telinga, bibir, serta jeratan di leher, adalah bukti jelas terjadinya kekerasan sebelum kematian. Temuan enam batu bata seberat 14 kg di tas Akseyna yang ikut tenggelam bersamanya semakin menguatkan dugaan pembunuhan berencana.
Also Read
Jeritan Keluarga dan Sikap Kampus yang Membungkam
Keluarga Akseyna tak menyerah. Melalui akun Instagram @peduliakseynaui, mereka berjuang keras mencari keadilan. Mereka menggalang dukungan, menginformasikan perkembangan kasus, dan menuntut pertanggungjawaban. Mereka juga meminta UI memberikan bantuan hukum, membentuk tim independen untuk membantu penyelidikan, dan menindak dosen yang berkomentar tidak pantas tentang kasus ini. Namun, semua permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh pihak kampus.
Lebih dari Sekadar Kasus Hukum: Menyoroti Sistem dan Solidaritas
Kasus Akseyna bukan sekadar misteri pembunuhan yang belum terpecahkan. Kasus ini juga menyoroti kerapuhan sistem hukum dan kurangnya empati pihak-pihak terkait. Pihak kampus yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi mahasiswanya, terkesan memilih bungkam dan abai terhadap permintaan keluarga Akseyna.
Kasus Akseyna menjadi pengingat bahwa keadilan bagi korban kejahatan, khususnya yang melibatkan mahasiswa, masih jauh dari kata ideal. Selain itu, ini adalah sebuah panggilan bagi kita semua, terutama komunitas mahasiswa, untuk lebih solid dan bersuara lantang memperjuangkan kebenaran.
Delapan tahun berlalu, kasus ini masih menjadi luka menganga. Kita tidak boleh menyerah untuk terus menuntut keadilan bagi Akseyna. Mari, di hari peringatan kematiannya pada 26 Maret nanti, kita bersama-sama mendoakan agar kebenaran segera terungkap dan pelaku pembunuhan Akseyna segera diadili. Kita tidak boleh membiarkan kasus ini hilang ditelan waktu.