Sorotan publik terhadap Bivitri Susanti meningkat tajam usai kemunculannya dalam film dokumenter "Dirty Vote". Bersama dua pakar hukum lainnya, ia membongkar dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024, sebuah langkah yang kini berujung pada laporan polisi. Siapakah sebenarnya Bivitri Susanti, dan mengapa film ini begitu kontroversial hingga menyeretnya dalam pusaran hukum? Mari kita telusuri lebih dalam.
Bivitri, lahir pada 5 Oktober 1974 di Jakarta, adalah seorang akademisi dan aktivis hukum yang memiliki rekam jejak panjang dalam memperjuangkan reformasi hukum di Indonesia. Lulusan Sarjana Hukum Universitas Indonesia (1998), ia melanjutkan studinya dengan meraih gelar Master of Laws with Distinction dari University of Warwick, Inggris (2002), berkat beasiswa bergengsi The British Chevening Award. Ambisinya tidak berhenti di situ, ia kemudian menempuh pendidikan doktoral di University of Washington School of Law, Amerika Serikat.
Kepakarannya dalam bidang hukum tidak diragukan lagi. Bivitri adalah salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), sebuah lembaga think tank yang aktif menghasilkan penelitian dan rekomendasi kebijakan terkait hukum. Ia juga terlibat dalam berbagai inisiatif reformasi hukum penting seperti Koalisi Konstitusi Baru dan penyusunan Cetak Biru Pembaruan Peradilan. Pengalamannya sebagai tenaga ahli untuk Tim Pembaruan Kejaksaan dan Dewan Perwakilan Daerah menunjukkan komitmennya untuk mendorong perubahan konkret dalam sistem hukum Indonesia.
Also Read
Tak hanya berkutat dalam praktik, Bivitri juga dikenal sebagai akademisi yang berpengaruh. Ia aktif mengajar dan menjadi pakar hukum tata negara di berbagai institusi pendidikan. Salah satu kontribusinya yang signifikan adalah pendirian Sekolah Tinggi Hukum Jentera di Jakarta Selatan, sebuah langkah penting untuk mencetak generasi penerus yang memiliki pemahaman hukum yang komprehensif dan berintegritas. Ceramahnya di universitas-universitas ternama seperti Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan Universitas Gadjah Mada membuktikan pengaruhnya dalam dunia akademik.
Keterlibatan Bivitri dalam film "Dirty Vote" yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, membawa namanya semakin dikenal publik. Film yang tayang di YouTube pada 11 Februari 2024 itu, mengungkap dugaan kecurangan Pemilu melalui analisis hukum yang tajam. Film berdurasi hampir dua jam ini mengupas berbagai instrumen kekuasaan yang diduga digunakan untuk memanipulasi hasil pemilihan. Film ini mengundang respons beragam dari masyarakat. Beberapa pihak memuji keberaniannya membuka tabir kecurangan politik, menganggapnya sebagai edukasi penting bagi warga negara. Namun, tak sedikit yang melontarkan kritik, menyoroti potensi bias dan agenda tersembunyi di balik film tersebut.
Kontroversi yang mengiringi film ini juga tak lepas dari latar belakang sutradara dan afiliasi politik para ahli hukum yang terlibat. Kemunculan salam empat jari di akhir film juga memicu spekulasi tentang motif politik yang mendasari produksi film ini. Perdebatan sengit pun terjadi di berbagai platform media sosial.
Kini, Bivitri bersama Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Dandhy Dwi Laksono dilaporkan ke polisi oleh Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (Foksi). Mereka dituduh mendeskreditkan Pemilu dan merugikan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pihak pelapor juga menyoroti waktu perilisan film yang bertepatan dengan masa tenang Pemilu, dianggap tidak etis.
Kasus ini menunjukkan bahwa isu kecurangan dalam Pemilu selalu menjadi topik yang sensitif dan rentan memicu polarisasi. Laporan polisi terhadap Bivitri dan tim "Dirty Vote" adalah konsekuensi dari keberanian mereka menyuarakan pendapat yang dianggap kontroversial. Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa kebebasan berpendapat dan kritik, meski dilindungi oleh hukum, tetap harus disampaikan dengan cara yang bertanggung jawab dan didukung oleh fakta yang kuat.
Perjalanan Bivitri Susanti, dari seorang akademisi hingga menjadi figur publik yang terlibat dalam kontroversi politik, adalah cerminan dinamika dan tantangan yang dihadapi para intelektual dan aktivis di Indonesia. Lantas, bagaimana nasib kasus ini selanjutnya? Publik tentu akan terus mengikuti perkembangan kasus ini dan melihat bagaimana hukum akan diterapkan dalam menghadapi kritik dan disinformasi dalam proses demokrasi.