Kemerdekaan Indonesia, sebuah narasi panjang yang tak lekang oleh waktu, diukir dengan tinta darah dan keringat para pahlawan. Di antara deretan nama besar itu, terselip kisah D.I. Panjaitan, seorang putra Tapanuli yang tidak hanya berjuang di medan perang, tetapi juga mewariskan teladan keberanian dan keteguhan iman. Kisahnya, kerap kali hanya disebutkan dalam catatan sejarah, layak untuk dikupas lebih dalam, memberikan inspirasi bagi generasi kini dan nanti.
Dilahirkan pada 9 Juni 1925, di Tapanuli, Sumatera Utara, kehidupan awal D.I. Panjaitan jauh dari gemerlap kemewahan. Ia tumbuh dalam keluarga pedagang kecil, sebuah realitas yang membuatnya harus memendam cita-cita untuk menempuh pendidikan di Hoogere Burger School (HBS). Namun, semangat belajar tak pernah padam. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di MULO Tarutung, sebuah langkah yang diambil atas permintaan orang tua. Di tengah perjuangannya menuntut ilmu, duka datang silih berganti. Ayahnya meninggal dunia, disusul sang ibunda tak lama kemudian, menjadi ujian berat yang harus ia hadapi di usia muda.
Kehidupan D.I. Panjaitan kemudian memasuki babak baru ketika ia mengikuti pendidikan militer Gyugun di masa pendudukan Jepang. Pengalamannya di sini mengasah jiwa kepemimpinan dan keberaniannya. Ia ditempatkan di Pekanbaru, Riau, hingga Indonesia meraih kemerdekaan. Perjalanan hidupnya, dari seorang anak pedagang kecil hingga menjadi perwira TNI Angkatan Darat, adalah bukti nyata bahwa latar belakang tidak membatasi seseorang untuk menggapai cita-cita.
Also Read
Salah satu keistimewaan D.I. Panjaitan adalah kemahirannya dalam berbahasa Jerman. Hal ini tidak lepas dari lingkungan tempat ia dibesarkan, yakni Rheinische Mission Geselchaft, sebuah kelompok zending dari Jerman. Kemampuan ini menjadi modal berharga dalam tugas-tugasnya sebagai perwira. Di balik sosoknya yang tegas dan berwibawa, tersimpan keteguhan iman. Konon, sebelum tewas diberondong tembakan oleh para penculiknya dalam peristiwa G30S/PKI, ia sempat berdoa, sebuah gambaran kesetiaan kepada Tuhan bahkan di saat genting.
Tragisnya, D.I. Panjaitan menjadi salah satu dari tujuh perwira tinggi TNI AD yang menjadi korban dalam tragedi G30S/PKI. Ia ditembak di bagian kepala tepat di kediamannya di Jalan Sultan Hasanudin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat dini hari, 1 Oktober 1965. Ia gugur di tempat, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan bangsa.
D.I. Panjaitan bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah representasi perjuangan, keteguhan iman, dan keberanian yang patut diteladani. Kisahnya mengajarkan kita bahwa setiap individu, dari latar belakang apapun, memiliki potensi untuk berkontribusi bagi bangsa dan negara. Ia meninggalkan enam orang anak: Catherine Pandjaitan, Masa Arestina, Ir (Ing) Salomo Pandjaitan, Letjen TNI (Purn.) Hotmangaraja Panjaitan, Tuthy Kamarati Pandjaitan, dan Riri Budiasri Pandjaitan, yang menjadi penerus semangat perjuangannya.
Kisah D.I. Panjaitan adalah pengingat bahwa kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah hasil dari pengorbanan para pahlawan. Mari teruskan semangat perjuangan mereka, dan jadikan Indonesia negara yang lebih baik, sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.