Film horor fantasi Korea Selatan, The Eighth Night, yang rilis di Netflix pada 2 Juli 2021, menyajikan premis menarik tentang legenda kuno dan pertarungan melawan kekuatan iblis. Dibintangi oleh Lee Sung Min, Park Hae Joon, Kim Yoo Jung, dan Nam Da Reum, film ini menawarkan kombinasi unik antara mistisisme Buddhisme dengan elemen horor. Namun, apakah eksekusinya berhasil memuaskan dahaga penonton?
Film ini dibuka dengan narasi epik tentang pertempuran antara Sang Buddha dan monster yang berupaya membuka gerbang neraka. Kunci kekuatan monster itu terletak pada dua mata: mata merah dan mata hitam. Keduanya dipisahkan dan dijaga di tempat yang berbeda oleh seorang cenayang dan biksu. Konflik muncul ketika seorang arkeolog, Kim Jun Chul, menemukan dan melepaskan mata merah, memicu serangkaian peristiwa yang mengancam dunia.
Setelah 14 tahun, Kim Jun Chul berniat membangkitkan mata merah saat gerhana bulan, dengan tujuan membuktikan kebenaran penemuannya. Pelepasan mata merah ini memicu pencarian untuk menemukan mata hitam. Jika kedua mata bertemu dalam tujuh hari tujuh malam, bumi akan berubah menjadi neraka pada malam kedelapan. Para biksu dan detektif Kim Ho Tae pun bahu-membahu mencegah malapetaka itu terjadi.
Also Read
Dengan durasi 115 menit, The Eighth Night terasa memiliki ritme yang tidak konsisten. Beberapa bagian terasa lambat dan membosankan, diperparah dengan adegan yang terasa tidak perlu. Ironisnya, bagian ending justru terasa terburu-buru, seolah film ini kehabisan waktu. Padahal, dengan alur yang lebih tertata, film ini bisa jadi jauh lebih baik.
Dari segi horor, film ini tidak banyak mengandalkan jumpscare. Ini bisa jadi poin plus bagi sebagian penonton yang bosan dengan formula horor yang itu-itu saja. Sayangnya, riasan karakter monster juga kurang maksimal dalam menciptakan kesan menakutkan. Akting para pemain, khususnya melalui ekspresi mimik dan tatapan, patut diacungi jempol karena berhasil menyampaikan pesan meskipun dialognya minim.
The Eighth Night memiliki cerita yang menjanjikan, sebuah perpaduan unik antara legenda, mistisisme, dan horor. Namun, eksekusinya kurang maksimal. Ritme yang lambat dan ending yang tergesa-gesa membuat film ini terasa kurang menggigit. Ini adalah film yang cukup menghibur untuk ditonton, tetapi bukan film yang akan meninggalkan kesan mendalam bagi penontonnya. Sebagai alternatif, film ini bisa disaksikan bagi penonton yang menginginkan kisah horor dengan sentuhan spiritualitas, bukan sekadar jumpscare yang membuat kaget. Film ini juga menawarkan konsep pertarungan melawan iblis yang tidak biasa, yang mungkin saja menjadi daya tarik utamanya.