Kesenian Betawi memang kaya akan warna, dan salah satu permata budayanya adalah Gambang Kromong. Musik tradisional ini bukan sekadar alunan nada, tapi juga cerminan sejarah dan perpaduan budaya yang unik. Sayangnya, di tengah hiruk pikuk modernisasi, gaung Gambang Kromong mulai meredup. Namun, semangat pelestarian terus berkobar, dan kita patut mengapresiasinya.
Gambang Kromong bukan sekadar musik pengiring lenong atau tari cokek. Ia adalah orkestra mini yang meramu berbagai alat musik. Bayangkan, ada kendang yang menggebrak ritme, gamelan yang mengalun melodi Jawa, dan rebab yang meliuk-liuk dalam kesenduan. Belum lagi, ada gambang kayu yang menyuarakan keceriaan dan kromong yang membunyikan harmoni khas. Gambang Kromong adalah pesta suara yang memanjakan telinga.
Lahir di era 1930-an, Gambang Kromong tumbuh subur di tengah penjajahan dan terus berkembang hingga kini. Dari mana asalnya? Tentu saja dari perpaduan gambang dan kromong itu sendiri. Namun, ada yang menarik. Gambang Kromong tidak hanya menyerap elemen musik lokal, tapi juga sentuhan budaya Tionghoa dan bahkan Barat. Alat musik seperti sukong, tehyan, dan gong adalah bukti pengaruh dari Tiongkok, sementara gitar, terompet, dan saksofon menunjukkan adaptasi terhadap musik Barat.
Also Read
Akulturasi ini menghasilkan musik yang kaya rasa. Awalnya, Gambang Kromong akrab dengan tangga nada Tshi Che khas Tionghoa, tapi kemudian ia beradaptasi dengan tangga nada slendro Jawa. Lagu-lagu seperti Jali-Jali dan Indung-Indung pun ikut memperkaya khazanahnya. Bahkan, kini kita bisa mendengar Gambang Kromong mengiringi berbagai genre musik, dari dangdut hingga gambus. Inilah bukti bahwa tradisi bisa hidup dan berkembang, tidak kaku, tapi luwes mengikuti zaman.
Pemain Gambang Kromong biasanya terdiri dari seorang pemimpin yang mengatur jalannya pertunjukan dan pemain alat musik yang jumlahnya bisa mencapai 25 orang. Pemimpin bertanggung jawab memastikan harmoni dan dinamika musik terjaga. Di balik panggung, para pemain juga berkolaborasi secara kreatif, saling mengisi dan memberi sentuhan pribadi pada setiap lagu. Ini bukan sekadar permainan musik, tapi juga sebuah bentuk interaksi sosial dan ekspresi diri.
Keberadaan Gambang Kromong bukan hanya urusan melestarikan warisan budaya, tetapi juga tentang merawat identitas. Di tengah gempuran budaya asing, kita membutuhkan simbol-simbol yang mengingatkan kita pada akar budaya sendiri. Gambang Kromong adalah salah satu dari simbol itu. Mari kita terus mendukung upaya pelestariannya, bukan hanya sebagai penonton, tapi juga sebagai bagian dari komunitas yang mencintai budayanya. Karena, ketika musik tradisional bergema, kita juga sedang merawat jati diri.