Alunan merdu gambus, alat musik petik yang akrab di telinga, bukan sekadar melodi. Ia adalah saksi bisu perjalanan budaya, perpaduan tradisi, dan evolusi musik yang terus menggema. Di balik bentuknya yang menyerupai gitar, tersimpan sejarah panjang yang menghubungkannya dengan tanah Arab dan geliat kreativitas Melayu.
Gambus, konon diadopsi dari alat musik Al’ud dari Timur Tengah, hadir di bumi Nusantara melalui jalur perdagangan pada masa Kesultanan Malaka. Para pedagang tak hanya membawa barang dagangan, tapi juga budaya, termasuk musik gambus yang kemudian berbaur dengan tradisi lokal. Bunyi petikannya yang khas, yang awalnya mengiringi nyanyian bernafaskan Islam, kini telah menjelajah berbagai genre musik.
Alat musik ini tak hanya berakar di Riau, tempat kelahirannya di Indonesia, tetapi juga menjadi bagian dari khazanah budaya Melayu di Brunei, Singapura, Sumatera Utara, Kalimantan, Jambi, Sulawesi, bahkan Lombok. Gambus kerap terdengar dalam berbagai upacara adat, pernikahan, dan acara keagamaan. Namun, fleksibilitasnya membuatnya mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Also Read
Lebih Dari Sekadar Musik Tradisional
Gambus kini tak lagi terbatas pada irama tradisional. Ia telah bertransformasi menjadi instrumen yang mampu berkolaborasi dengan berbagai genre musik. Tak jarang kita temui gambus hadir dalam aransemen musik pop, rock, bahkan orkestra. Kemampuannya berpadu dengan alat musik modern memberikan warna baru dalam dunia musik Indonesia.
Cara memainkannya pun cukup sederhana, yakni dengan dipetik menggunakan jari atau plektrum. Namun, kemahiran memainkan gambus membutuhkan latihan dan penghayatan. Jika dimainkan secara berkelompok, gambus sering dikolaborasikan dengan alat musik lain seperti gendang atau marawis, menciptakan harmoni yang memukau.
Mencipta Gambus, Merajut Tradisi
Proses pembuatan gambus adalah cerminan kearifan lokal. Material kayu ringan seperti angsana atau nibung dipilih sebagai bahan utama. Kayu tersebut kemudian dipotong dan dilubangi, lalu dihaluskan. Sentuhan minyak kelapa pada badan gambus memberikan kesan mengkilap dan mempercantik tampilannya.
Kulit binatang, seperti biawak, pari, atau ular, yang telah direndam, digunakan untuk menutup lubang resonansi. Proses perendaman ini bertujuan untuk melunakkan kulit sehingga mudah dipasang. Terakhir, senar dipasang dan dikencangkan dengan bantuan pasak berbentuk tanduk di bagian pangkal. Gambus tradisional umumnya memiliki tiga hingga dua belas senar.
Gambus bukan hanya sekadar alat musik, tapi juga simbol perpaduan budaya, kreativitas, dan adaptasi. Ia adalah bukti bahwa tradisi tak harus kaku, melainkan bisa terus berkembang dan berinovasi. Dari Timur Tengah hingga panggung-panggung modern, gambus terus bersenandung, merangkai nada yang menyentuh hati dan merekam jejak peradaban.