Lini masa media sosial, terutama X (dulu Twitter), mendadak diramaikan dengan kemunculan gambar Burung Garuda berlatar biru bertuliskan "Peringatan Darurat". Fenomena yang dikenal sebagai "Garuda Biru" ini bukan sekadar tren biasa, melainkan sebuah simbol perlawanan yang muncul dari akar budaya internet dan kemudian berkembang menjadi suara protes terhadap situasi politik terkini. Lantas, apa sebenarnya Garuda Biru dan bagaimana ia bisa menjadi begitu viral?
Asal-usul Horor di Balik Simbol Protes
Gambar Garuda Biru ini ternyata bukan muncul begitu saja. Ia berakar dari sebuah video horor analog yang diunggah oleh kanal YouTube EAS Indonesia Concept pada 24 Oktober 2022. Video berjudul “EAS Indonesia Concept (24/10/1991), ANM-021 (Mesem) – First Encounter” ini menampilkan visualisasi sistem peringatan darurat (EAS) ala Indonesia, yang dibuat dengan sentuhan horor.
Dalam video tersebut, EAS Indonesia Concept mengolah cuplikan siaran TVRI dengan efek visual dan musik mencekam. Tepat di detik ke-17, munculah gambar layar biru dengan lambang Garuda dan tulisan "PERINGATAN DARURAT." Visual inilah yang kemudian menjadi ikon dan viral di media sosial. Awalnya sekadar elemen horor dalam video, namun kini bertransformasi menjadi simbol yang sarat makna politik.
Also Read
Transformasi Garuda Biru: Dari Horor ke Protes Politik
Yang menarik, Garuda Biru yang awalnya bagian dari karya seni digital kini diangkat menjadi simbol perlawanan oleh warganet. Sejak 21 Agustus 2024, tagar dan unggahan gambar Garuda Biru mulai menjamur di media sosial. Bukan lagi sekadar hiburan, kini ia menjadi representasi ketidakpuasan terhadap keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait Pilkada 2024.
Pemicunya adalah keputusan DPR yang dianggap mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK telah mengubah aturan ambang batas pencalonan kepala daerah, namun DPR justru melonggarkan aturan tersebut hanya untuk partai yang tak punya kursi di DPRD. Sementara partai yang punya kursi harus tetap menggunakan aturan lama. Hal ini menimbulkan ketidakadilan dan memicu reaksi keras dari masyarakat.
Selain itu, polemik batas usia minimum calon kepala daerah juga menjadi perhatian. DPR memutuskan untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung yang menetapkan batas usia saat pelantikan, bukan saat penetapan calon seperti putusan MK. Rentetan keputusan ini dinilai telah mengabaikan keadilan dan demokrasi, memicu gelombang protes yang diwujudkan lewat simbol Garuda Biru.
Garuda Biru: Lebih dari Sekadar Tren
Kini, Garuda Biru bukan lagi sekadar tren atau meme di media sosial. Ia telah menjadi simbol perjuangan masyarakat untuk mengawal keadilan dan demokrasi. Gambar ini adalah seruan untuk lebih aktif memantau dan mengkritisi kebijakan politik yang dianggap merugikan. Lebih dari itu, Garuda Biru menjadi pengingat bahwa suara rakyat memiliki kekuatan, dan warganet Indonesia mampu menyalurkan keresahan mereka secara kreatif.
Beberapa isu penting yang menjadi latar belakang kemunculan Garuda Biru adalah:
- Polemik MK vs DPR: Konflik antara putusan MK dan revisi UU Pilkada terkait ambang batas dan usia calon kepala daerah.
- Korupsi dan Hukum: Kekhawatiran terhadap kasus korupsi dan ketidakpercayaan pada penegakan hukum.
- Kebebasan Berekspresi: Pembatasan kebebasan berekspresi dan represi terhadap aktivis.
Garuda Biru adalah bentuk peringatan dari masyarakat yang merasa suara mereka tidak didengarkan. Ini bukan sekadar tren sesaat, tetapi refleksi dari kesadaran dan semangat kritis generasi muda dalam menjaga demokrasi. Saat melihat gambar ini berseliweran di media sosial, ingatlah bahwa ia adalah simbol perlawanan, ajakan untuk bertindak, dan pengingat bahwa kita semua adalah bagian dari upaya menjaga keadilan di negeri ini.