Goenawan Mohamad, nama yang tak asing di telinga publik Indonesia, khususnya mereka yang akrab dengan dunia sastra, jurnalisme, dan kebudayaan. Lebih dari sekadar pendiri Majalah Tempo, sosok yang akrab disapa Goen ini adalah seorang intelektual serba bisa yang pemikirannya terus relevan hingga hari ini.
Lahir di Batang, Jawa Tengah, Goenawan tumbuh menjadi sosok yang haus akan ilmu pengetahuan. Meskipun tak menyelesaikan studinya di bidang psikologi di Universitas Indonesia, ia kemudian menimba ilmu politik di College of Europe, Belgia. Latar belakang pendidikan ini memperkaya pandangan Goenawan, memberinya landasan yang kokoh untuk mengarungi berbagai isu sosial, politik, dan budaya yang kompleks.
Kiprah Goenawan di dunia jurnalistik tak perlu diragukan lagi. Memulai karir sebagai redaktur di Harian KAMI dan Majalah Horison, ia kemudian memimpin redaksi Majalah Tempo selama dua periode (1971-1993 dan 1998-1999). Di bawah kepemimpinannya, Tempo menjelma menjadi media yang disegani, kritis, dan berani menyuarakan kebenaran, bahkan di tengah rezim yang represif. Keberanian ini yang menjadikan Tempo sebagai simbol kebebasan pers, sebuah nilai yang diperjuangkan Goenawan sepanjang hidupnya.
Also Read
Namun, Goenawan tak hanya berkutat di dunia jurnalistik. Ia adalah seorang sastrawan yang piawai merangkai kata menjadi puisi yang menggugah. Karyanya, seperti "Empat Sajak dalam Manifestasi" dan "Setelah Revolusi Tak Ada Lagi", adalah cermin dari pergulatan pemikiran dan kegelisahannya terhadap isu-isu sosial. Kemampuannya menerjemahkan puisi Emily Dickinson di usia muda menunjukkan bakat dan kecintaannya pada dunia sastra.
Peran Goenawan sebagai intelektual juga terlihat dari keterlibatannya dalam Manifesto Kebudayaan di tahun 1964. Meskipun sempat dilarang menulis di media umum akibat gerakan ini, semangatnya untuk terus menyuarakan kebenaran tak pernah padam. Ia terus berkarya, baik melalui tulisan maupun kegiatan kebudayaan.
Saat ini, Goenawan aktif mengelola Komunitas Salihara, sebuah pusat kesenian yang menjadi ruang dialog dan ekspresi bagi berbagai kalangan. Di Salihara, isu-isu HAM, agama, demokrasi, dan berbagai tema krusial lainnya didiskusikan secara terbuka dan kritis. Salihara adalah representasi dari visi Goenawan akan pentingnya ruang publik yang bebas dan berdaya.
Goenawan Mohamad bukan hanya seorang tokoh, ia adalah sebuah institusi. Pemikirannya yang luas dan terbuka, keberaniannya menyuarakan kebenaran, serta kecintaannya pada seni dan budaya menjadikan dirinya sebagai inspirasi bagi banyak orang. Ia adalah sosok intelektual serba bisa yang terus berkontribusi bagi kemajuan bangsa Indonesia. Dari dunia jurnalistik hingga kebudayaan, jejak Goenawan akan terus abadi dan relevan bagi generasi mendatang.