Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina kembali memanas, dengan korban jiwa berjatuhan di kedua belah pihak. Di tengah eskalasi ini, dua faksi utama Palestina, Hamas dan Fatah, kembali menjadi sorotan. Banyak yang bertanya, apa sebenarnya perbedaan mendasar antara kedua kelompok ini yang seolah tak pernah menemukan titik temu? Artikel ini akan mengupas perbedaan ideologi, tujuan, dan sejarah perseteruan mereka.
Hamas: Gerakan Islamis dengan Tujuan Penghancuran Israel
Hamas, singkatan dari Harakat al-Muqawama al-Islamiyya (Gerakan Perlawanan Islam), adalah partai politik yang berakar pada ideologi Islam. Mereka memandang Israel bukan sebagai negara yang berdaulat, melainkan sebagai entitas pendatang yang harus dilawan keberadaannya. Hamas beroperasi sebagai gerakan militer yang menguasai Jalur Gaza, rumah bagi lebih dari dua juta warga Palestina.
Tujuan utama Hamas adalah pembentukan negara Islam di seluruh wilayah Palestina, termasuk wilayah Israel, yang mereka pandang sebagai tanah yang diduduki. Tujuan ini sering diartikan sebagai penghancuran total negara Israel. Walau demikian, belakangan Hamas menunjukkan perubahan, dengan lebih memprioritaskan perlawanan bersenjata sebagai cara untuk mencapai tujuan mereka, meski tujuan akhirnya tetap sama.
Also Read
Fatah: Nasionalis Sekuler yang Mengakui Kedaulatan Israel
Berbeda dengan Hamas, Fatah adalah partai politik nasionalis sekuler. Fatah sempat menjadi kekuatan dominan dalam politik Palestina, bekerja sama dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Fatah mengakui eksistensi Israel sebagai negara berdaulat dan lebih memilih cara diplomasi untuk mencapai tujuan mereka.
Tujuan utama Fatah adalah merebut kembali wilayah Palestina dari pendudukan Israel melalui perjuangan gerilya dengan intensitas rendah. Fatah percaya pada solusi dua negara, di mana Palestina dan Israel hidup berdampingan secara damai.
Perseteruan Internal: Dari Persaingan Politik Menjadi Konflik Terbuka
Perbedaan pandangan antara Hamas dan Fatah semakin meruncing setelah wafatnya Yasser Arafat, tokoh sentral Fatah yang juga Presiden Palestina, pada tahun 2004. Arafat dikenal sebagai tokoh yang mendorong perdamaian dengan Israel melalui Kesepakatan Oslo. Kepergian Arafat menciptakan kekosongan kepemimpinan di Fatah, yang dimanfaatkan oleh Hamas.
Pada Pemilu 2006, Hamas berhasil memenangkan kursi parlemen Palestina, menggeser dominasi Fatah. Kemenangan ini membuat Hamas semakin kuat di Jalur Gaza, yang menjadi wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi di Palestina. Hamas juga aktif dalam kegiatan sosial, seperti membangun sekolah dan fasilitas umum. Sementara itu, Fatah tetap menguasai Tepi Barat.
Persaingan kekuasaan antara Hamas dan Fatah tidak hanya terjadi di ranah politik, tetapi juga memicu konflik internal di Palestina. Kedua kelompok ini sering kali terlibat bentrokan bersenjata, yang semakin memperparah penderitaan warga Palestina.
Dampak bagi Konflik Israel-Palestina
Perbedaan ideologi dan perseteruan antara Hamas dan Fatah secara tidak langsung memengaruhi konflik Israel-Palestina. Ketidakmampuan kedua faksi Palestina untuk bersatu dalam satu suara seringkali menjadi alasan bagi Israel untuk tidak menanggapi tuntutan Palestina dengan serius.
Konflik internal di Palestina juga membuat upaya perdamaian semakin sulit tercapai. Ketidakpercayaan di antara kelompok-kelompok Palestina semakin dalam, sehingga sulit untuk mencapai rekonsiliasi dan membentuk pemerintahan yang bersatu.
Memahami perbedaan Hamas dan Fatah adalah kunci untuk memahami kompleksitas konflik Israel-Palestina. Di balik aksi perlawanan dan serangan, ada sejarah panjang persaingan dan perbedaan ideologi yang membentuk dinamika politik di Palestina. Pertanyaan besarnya adalah, mampukah kedua faksi ini bersatu untuk mencapai tujuan bersama, yakni kemerdekaan dan perdamaian bagi rakyat Palestina? Jawabannya akan sangat menentukan masa depan konflik yang terus berlarut ini.