Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Papua kembali mencuatkan polemik. Kali ini, sorotan tertuju pada PT Indo Asiana Lestari, sebuah perusahaan yang izin operasinya memicu sengketa lahan dengan masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan. Perusahaan ini, yang izinnya diklaim untuk membuka lahan hingga 36.094 hektare, ternyata menyimpan lapisan kepemilikan yang rumit dan kontroversial.
Jejak Pemilik yang Berliku dan Perusahaan Palsu
Siapa sebenarnya pemilik PT Indo Asiana Lestari? Pertanyaan ini membawa kita pada labirin informasi yang membingungkan. Kabar awal menyebutkan perusahaan ini mayoritas dimiliki oleh Mandala Resources, perusahaan asal Malaysia yang dipimpin oleh dua pengusaha kontraktor sawit. Namun, investigasi dari The Gecko Project mengungkap bahwa ada jaringan perusahaan palsu di balik proyek ini. Perusahaan-perusahaan ini disinyalir menggunakan nama samaran dan alamat fiktif, mempersulit pelacakan pemilik saham yang sebenarnya.
Selain Mandala Resources, nama Shin Yang juga muncul sebagai salah satu pemilik saham. Shin Yang, yang memiliki pabrik pengolahan kayu di Boven Digoel, pernah tersandung masalah pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia di Sarawak, Malaysia. Reputasi ini tentu menambah keraguan atas komitmen PT Indo Asiana Lestari terhadap prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab sosial.
Also Read
Konflik dengan Suku Awyu: Lebih dari Sekadar Lahan
Pemberian izin kepada PT Indo Asiana Lestari untuk membuka lahan seluas 26.326 hektare, yang setara dengan seperlima luas kota London, memicu perlawanan dari Suku Awyu. Hutan adat marga Woro, yang merupakan bagian integral dari kehidupan dan budaya mereka, terancam diratakan demi perkebunan sawit. Suku Awyu, yang hidupnya sangat bergantung pada hutan sebagai sumber daya alam dan warisan budaya, merasa terpinggirkan karena tidak dilibatkan dalam proses perizinan.
Bukan sekadar kehilangan lahan, Suku Awyu juga kehilangan identitas dan jati diri mereka. Hutan bagi mereka bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga merupakan bagian dari sejarah dan leluhur mereka. Kedalaman ikatan spiritual dan budaya dengan hutan membuat perlawanan mereka semakin kuat. Aksi demonstrasi di Jakarta dengan tagar "All Eyes on Papua" adalah bukti betapa besarnya tekad mereka untuk mempertahankan hak atas tanah adat.
Perusahaan Sawit dan Pengabaian Hak Adat
Kasus PT Indo Asiana Lestari adalah cerminan dari konflik kepentingan yang kerap terjadi dalam ekspansi perkebunan kelapa sawit. Perusahaan, yang didorong oleh potensi keuntungan ekonomi, seringkali mengabaikan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. Deforestasi, hilangnya biodiversitas, dan konflik dengan masyarakat adat adalah konsekuensi yang seringkali tidak terhindarkan.
Pemerintah, yang seharusnya menjadi penengah, seringkali dinilai kurang berpihak pada kepentingan masyarakat adat. Proses perizinan yang tidak transparan dan kurangnya partisipasi masyarakat lokal menjadi persoalan utama. Kasus Suku Awyu yang baru mengetahui izin perusahaan pada Agustus 2022, padahal izin sudah dikeluarkan pada November 2021, adalah contoh nyata bagaimana masyarakat adat termarginalkan.
Solusi dan Harapan: Keterlibatan Masyarakat Adat dan Keadilan Hukum
Konflik antara PT Indo Asiana Lestari dan Suku Awyu menuntut penyelesaian yang adil dan berkelanjutan. Pemerintah dan perusahaan perlu membuka dialog yang inklusif dan transparan dengan masyarakat adat. Keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan pengambilan keputusan terkait pemanfaatan sumber daya alam adalah keharusan.
Pengadilan juga memiliki peran penting dalam menyelesaikan sengketa ini. Namun, yang dibutuhkan bukan hanya proses hukum yang adil, tetapi juga kesadaran dan dukungan publik yang luas. Dukungan dari masyarakat sipil, organisasi lingkungan, dan media massa dapat menjadi kekuatan pendorong untuk memastikan hak-hak masyarakat adat terlindungi.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan lingkungan dan hak asasi manusia. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, jika tidak dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab, akan menimbulkan kerusakan yang tidak terpulihkan. Perlindungan hutan dan hak-hak masyarakat adat adalah tanggung jawab kita bersama.