Kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, atau yang lebih dikenal sebagai kalimat istirja’, seringkali terucap ketika kita mendengar kabar duka kematian. Namun, tahukah Anda bahwa makna dan penggunaannya jauh lebih luas dari sekadar ungkapan belasungkawa? Istirja’ adalah pengakuan mendalam akan kepasrahan kita kepada Sang Pencipta, sebuah pengingat bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Ayat Al-Quran dalam surat Al-Baqarah ayat 155-156 menegaskan bahwa musibah adalah bagian dari ujian kehidupan. Tidak hanya kematian, rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, bahkan kehilangan buah-buahan, semuanya adalah bentuk ujian. Lalu, bagaimana kita menyikapinya? Ayat tersebut memberikan jawaban yang jelas: dengan sabar dan mengucapkan istirja’.
Di sinilah letak esensi istirja’ yang sesungguhnya. Ia bukan hanya reaksi spontan saat mendengar kabar duka, melainkan deklarasi sikap seorang hamba yang menyadari bahwa dirinya, segala yang ia miliki, dan segala peristiwa yang menimpanya adalah bagian dari kehendak Allah. Dengan mengucapkan istirja’, kita tidak hanya menunjukkan kepasrahan, tetapi juga menghadirkan kesadaran diri akan keterbatasan kita sebagai manusia.
Also Read
Bayangkan ketika kita menghadapi bencana alam seperti gempa bumi, banjir bandang, atau letusan gunung berapi. Alih-alih terjebak dalam kepanikan dan ratapan yang tak berujung, mengucapkan istirja’ adalah cara untuk menenangkan diri. Ia adalah afirmasi bahwa kita tidak sendiri dalam menghadapi musibah ini. Ada kekuatan yang lebih besar yang memiliki kuasa atas segala sesuatu.
Lebih dari itu, istirja’ adalah pengingat akan tujuan akhir kita. Bahwa pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada Allah. Ini adalah perspektif yang penting untuk meredam kesedihan, kekecewaan, dan berbagai emosi negatif lainnya yang mungkin muncul saat menghadapi musibah. Istirja’ membantu kita untuk melihat musibah bukan hanya sebagai malapetaka, tetapi juga sebagai jalan menuju kesadaran diri dan kedekatan kepada Sang Pencipta.
Jadi, mari kita mulai membiasakan diri untuk mengucapkan istirja’ bukan hanya ketika ada kematian, tetapi setiap kali kita menghadapi musibah apapun. Baik itu musibah besar maupun kecil. Dengan begitu, kita tidak hanya menunjukkan kepasrahan, tetapi juga menghadirkan kesadaran diri bahwa kita adalah hamba Allah dan akan kembali kepada-Nya. Ini adalah cara kita menghadapi kehidupan dengan lebih bijak dan sabar, serta mendapatkan hikmah di balik setiap ujian yang diberikan.