Hari Pers Nasional, yang kita peringati setiap 9 Februari, bukan sekadar seremoni. Ia adalah pengingat akan perjalanan panjang pers Indonesia, dari masa kelam represi hingga era digital yang penuh tantangan. Kemerdekaan pers, yang menjadi inti perayaan ini, adalah fondasi penting bagi demokrasi. Namun, apakah kita sudah benar-benar memahami maknanya?
Kemerdekaan pers, dalam definisi paling sederhana, adalah hak konstitusional bagi media untuk menyampaikan informasi tanpa campur tangan atau sensor pemerintah. Ia adalah pilar demokrasi, memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi, mengawasi kinerja pemerintah, dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa pers yang bebas, publik akan buta dan kekuasaan bisa dengan mudah diselewengkan.
Namun, di era digital ini, makna kemerdekaan pers mengalami pergeseran. Kebebasan menyampaikan informasi kini tidak lagi eksklusif milik media mainstream. Setiap individu, dengan bermodalkan ponsel dan koneksi internet, bisa menjadi "wartawan" atau penyebar informasi. Ini tentu menghadirkan dinamika baru.
Also Read
Di satu sisi, kemudahan ini memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat yang lebih luas. Suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan kini bisa didengar. Namun, di sisi lain, ini juga membuka celah bagi penyebaran disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian. Batas antara kebebasan dan penyalahgunaan menjadi semakin kabur.
Oleh karena itu, memahami kemerdekaan pers di era digital bukan hanya soal bebas dari sensor, tetapi juga tentang tanggung jawab. Kebebasan tanpa tanggung jawab akan berujung pada kekacauan informasi. Pers, baik media mainstream maupun individu, harus menjunjung tinggi etika jurnalistik, verifikasi fakta, dan prinsip praduga tak bersalah.
Undang-undang Pers juga telah mengamanatkan bahwa pers harus menghormati norma agama, kesusilaan, dan hak jawab. Ini bukan bentuk pembatasan, melainkan rambu-rambu yang menjaga agar informasi yang disampaikan tetap berkualitas dan bertanggung jawab. Pers tidak boleh hanya berorientasi pada sensasi atau keuntungan semata, tetapi harus berpihak pada kepentingan publik.
Kemerdekaan pers adalah hak, tetapi juga amanah. Ia adalah instrumen penting untuk menjaga demokrasi tetap hidup. Di era digital ini, kita semua, bukan hanya wartawan, memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar kebebasan ini tidak disalahgunakan. Kita harus menjadi konsumen informasi yang cerdas, mampu membedakan antara fakta dan hoaks, serta berpartisipasi aktif dalam menciptakan ruang publik yang sehat dan konstruktif. Kemerdekaan pers bukanlah hak istimewa, melainkan fondasi bagi kehidupan yang beradab dan demokratis. Mari kita jaga bersama.