Film "Ketika Berhenti di Sini," garapan sutradara Umay Shahab, hadir sebagai tontonan yang menggugah emosi. Dirilis pada 27 Juli 2023, film ini tidak hanya menawarkan kisah cinta yang mengharukan, tetapi juga eksplorasi mendalam tentang duka, penerimaan, dan bagaimana teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), dapat memengaruhi proses pemulihan seseorang.
Perjalanan Dita: Dari Kehilangan ke Kebimbangan
Plot film ini berpusat pada Dita, seorang desainer kreatif yang diperankan dengan apik oleh Prilly Latuconsina. Dita bergulat dengan trauma mendalam akibat kehilangan orang-orang terdekatnya. Kita melihat bagaimana kepergian sang ayah membuatnya kehilangan arah, hidup dalam rutinitas tanpa makna. Kehadiran Edison (Bryan Domani), membawa kembali warna dalam hidupnya. Keduanya menjalin cinta, namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Tragedi kembali menghampiri Dita ketika Edison meninggal dunia secara tiba-tiba. Kehilangan untuk yang kedua kalinya ini membuatnya semakin terpuruk. Di tengah keputusasaan, muncul sebuah harapan: sebuah kacamata dengan teknologi AI yang memungkinkan Dita berinteraksi dengan replika virtual Edison.
Also Read
Teknologi ini, yang merupakan hadiah terakhir dari Edison, menjadi titik balik sekaligus sumber kebingungan baru. Dita terombang-ambing antara realita dan dunia virtual yang dibangun oleh AI. Kehadiran Edison dalam bentuk virtual memang memberikan sedikit hiburan, namun juga memperumit prosesnya berdamai dengan kepergian orang yang dicintainya.
AI: Solusi atau Justru Ilusi?
"Ketika Berhenti di Sini" bukan sekadar film drama romantis biasa. Film ini berani mengangkat isu teknologi AI sebagai bagian integral dari narasi. Kacamata AI yang memungkinkan Dita berinteraksi dengan Edison dalam bentuk virtual, bukan sekadar alat bantu, tapi menjadi simbol dari kompleksitas modernitas dan duka.
Di satu sisi, AI memberikan Dita ruang untuk kembali berinteraksi dengan sosok yang dirindukannya, meringankan kesepian dan trauma. Di sisi lain, kehadiran Edison virtual ini justru memicu kebingungan dan ketidakmampuan Dita untuk membedakan antara dunia nyata dan ilusi.
Film ini dengan cerdas mempertanyakan, apakah teknologi, se-canggih apa pun, mampu menggantikan kehadiran manusia yang sesungguhnya? Bisakah kita sepenuhnya berdamai dengan kehilangan dengan bantuan replika virtual? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat film ini terasa relevan dan menggugah pemikiran penonton.
Lebih dari Sekadar Drama Cinta
"Ketika Berhenti di Sini" tidak hanya mengisahkan tentang cinta dan kehilangan, tapi juga tentang perjuangan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan. Film ini menggambarkan betapa pentingnya dukungan dari orang-orang terdekat dalam menghadapi masa-masa sulit. Persahabatan Dita dengan Ifan (Refal Hady), Untari (Lutesha), dan Awan (Sal Priadi), menjadi pengingat bahwa kita tidak pernah benar-benar sendirian.
Film ini dengan halus menyinggung tentang isu kesehatan mental, khususnya bagaimana trauma dapat memengaruhi seseorang dalam menjalani kehidupannya. "Ketika Berhenti di Sini" mengajak kita untuk merenungkan tentang bagaimana kita memperlakukan diri sendiri dan orang lain di sekitar kita, terutama ketika sedang menghadapi masa sulit.
Kesimpulan: Tontonan yang Menguras Emosi dan Pemikiran
"Ketika Berhenti di Sini" adalah film yang berhasil menggabungkan drama cinta yang menyentuh dengan sentuhan fiksi ilmiah yang relevan. Dengan alur cerita yang menarik, akting yang memukau, dan pesan yang mendalam, film ini layak untuk ditonton. Film ini bukan hanya tentang bagaimana kita kehilangan, tetapi juga tentang bagaimana kita belajar menerima, berdamai, dan akhirnya melanjutkan hidup. Kisahnya akan membuat kita berpikir panjang tentang batas antara realita dan ilusi, serta tentang peran teknologi dalam hidup kita.