Duka 9/11 masih membekas, bukan hanya bagi keluarga korban, tetapi juga bagi seluruh umat Muslim di Amerika Serikat. Tragedi yang menelan ribuan nyawa tersebut, ironisnya, menjadi titik balik meningkatnya Islamophobia di Negeri Paman Sam. Stigma negatif yang menyelimuti komunitas Muslim pasca serangan teroris itu, digambarkan dengan kuat dalam novel "Bulan Terbelah di Langit Amerika" karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra.
Dalam novel tersebut, kita diajak melihat bagaimana pandangan publik Amerika terhadap Islam berubah menjadi prasangka buruk. Narasi yang berkembang kala itu, dengan cepat mengaitkan terorisme dengan agama Islam, seolah-olah setiap Muslim adalah ancaman. Tokoh Michael Jones, seorang demonstran yang menentang pembangunan masjid di Ground Zero, menjadi representasi kuat dari sentimen ini. Kehilangan istrinya dalam tragedi 9/11 membuatnya terperangkap dalam kebencian dan menyuarakan bahwa "dunia akan lebih baik tanpa Islam."
Namun, di tengah badai prasangka, ada suara-suara yang berani melawan arus. Sosok Julia Collins, seorang kurator museum, tampil sebagai antitesis dari pandangan negatif tersebut. Ia menghadirkan bukti-bukti sejarah dan budaya yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang damai dan kaya akan kontribusi peradaban. Collins menjadi jembatan bagi pemahaman yang lebih dalam tentang Islam, menantang generalisasi dangkal yang kerap terjadi.
Also Read
Kisah lain yang tak kalah menyentuh adalah perjalanan Phillipus Brown, seorang filantropi yang menjadi saksi hidup tragedi 9/11. Brown, yang bukan seorang Muslim, secara heroik diselamatkan oleh seorang Muslim bernama Ibrahim. Namun ironisnya, kegigihan Ibrahim membantu korban lain justru membuatnya menjadi korban. Kisah ini menjadi sangat penting karena ia menyoroti keberanian dan kemanusiaan seorang Muslim, yang berbeda jauh dari stereotip teroris yang dilabelkan pada umat Muslim pasca kejadian tersebut.
Pidato Brown di acara penganugerahan CNN TV Heroes, yang disiarkan langsung, menjadi momentum penting. Kata-kata yang dilontarkannya, "Dunia akan lebih baik dengan Islam dan Islam bukanlah teroris," menggema dan membuka mata publik Amerika. Pesan ini bukan hanya berasal dari seorang Muslim, melainkan dari seorang non-Muslim yang menyaksikan sendiri kebaikan dan keberanian seorang Muslim.
Lebih dari sekadar narasi fiksi, novel ini sejatinya merefleksikan realitas yang terjadi di Amerika pasca 9/11. Peristiwa ini tidak hanya tentang ledakan dan korban jiwa, tetapi juga tentang pertempuran gagasan dan persepsi. Kisah Hanum yang berupaya mengubah pandangan publik melalui liputan dan wawancara, menunjukkan bahwa media dan dialog adalah senjata ampuh untuk melawan Islamophobia. Ia menyuarakan kebenaran tentang agama Islam.
Kisah Brown dan Jones adalah simbol keberhasilan untuk mengubah pandangan yang awalnya sangat buruk terhadap umat Muslim. Melalui keberaniannya bersuara, Brown berhasil mematahkan persepsi yang keliru dan mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang Islam. Sementara itu, Jones mewakili perjalanan transformasi. Kebencian dan prasangka yang membutakannya perlahan sirna setelah ia mendengarkan dan memahami kebenaran. Transformasinya menunjukkan bahwa perubahan pandangan adalah mungkin, bahkan dari orang yang paling keras menentang sekalipun.
Kasus ini mengajarkan kita bahwa di balik setiap peristiwa, terdapat kisah-kisah kemanusiaan yang perlu didengar dan dipahami. Islamophobia bukanlah sekadar isu agama, melainkan juga isu kemanusiaan. Dengan berani membuka ruang dialog dan menghadirkan bukti-bukti yang valid, kita dapat meruntuhkan tembok prasangka dan membangun jembatan persaudaraan. Perubahan persepsi publik tentang Islam tidak hanya membawa dampak positif bagi umat Muslim, tetapi juga bagi seluruh masyarakat.