Kharisma Jati, nama yang kembali menghangat di jagat maya. Bukan karena karya komik terbarunya, melainkan karena unggahan meme di akun Twitter-nya yang dianggap menghina Ibu Negara, Iriana Jokowi. Aksi ini kembali menyeretnya ke pusaran kontroversi, mengingatkan publik pada rekam jejaknya yang kerap memicu perdebatan.
Kharisma Jati, lahir di Yogyakarta pada 30 April 1986, dikenal sebagai ilustrator dan komikus. Karya-karyanya seperti "Anak Kos Dodol" dan "God You Must Be Joking" menjadi bukti gaya humornya yang khas, meski tak jarang menimbulkan polemik. Ia kerap menampilkan konten yang berani, bahkan eksplisit, mengangkat isu seksual, asusila, hingga kekerasan. Hal ini menjadi ciri khas karyanya, tetapi juga menjadi sumber kontroversi yang terus mengiringi langkahnya.
Latar belakangnya sebagai anak seniman, dengan ayah seorang pelukis dan ibu seorang penari, tampaknya turut membentuk pandangan dan gaya artistiknya. Namun, kebebasan berekspresi yang ia anut, tak jarang menabrak batasan-batasan norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
Also Read
Kasus unggahan meme terbarunya bukan kali pertama ia menuai kritik tajam. Pada tahun 2016, Kharisma Jati juga pernah membuat geger dengan komik asusila yang menggambarkan seorang perempuan mengajak anak menjadi pemuas nafsunya. Kontroversi itu diperparah dengan dugaan adanya kemiripan karakter komik tersebut dengan karya komikus lain. Panel komik "God You Must Be Joking" yang menampilkan tokoh Gigi Dua dengan ucapan "Wanita amoral" juga tak luput dari kecaman komunitas komikus Indonesia. Kejadian ini memaksa Kharisma Jati untuk menghapus karyanya tersebut.
Kali ini, meme yang diunggahnya di Twitter menampilkan foto Ibu Iriana bersama istri Presiden Korea Selatan, Kim Kun Hee, disertai keterangan yang dianggap melecehkan. Meski unggahan tersebut telah dihapus, jejak digital dan tanggapan keras dari Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming, kedua putra presiden, menjadi bukti bahwa kasus ini tidak bisa dianggap remeh.
Kritik dan kecaman yang mengalir deras terhadap Kharisma Jati tidak hanya menyoroti konten yang ia buat, tetapi juga mempertanyakan tanggung jawab seorang seniman dalam menyampaikan karyanya. Di tengah kebebasan berekspresi, seorang kreator juga dituntut untuk memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai sosial dan budaya yang berlaku.
Kasus Kharisma Jati ini bisa menjadi cermin bagi para kreator, terutama di era digital, untuk lebih berhati-hati dalam berkarya dan menggunakan platform media sosial. Perlu ada kesadaran bahwa setiap karya memiliki dampak dan konsekuensi, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Kebebasan berekspresi bukanlah lisensi untuk melanggar norma dan menyakiti perasaan orang lain.
Di sisi lain, kejadian ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat untuk bersikap lebih bijak dalam merespons sebuah karya. Kritik yang konstruktif, tanpa ujaran kebencian dan kekerasan, tetap diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Kharisma Jati dan kontroversi yang menyelimutinya, telah menjadi contoh nyata betapa pentingnya hal ini.