Keputusan Dior menggandeng May Tager, model asal Israel, sebagai wajah baru kampanye mereka menggantikan Bella Hadid, memicu gelombang perbincangan di dunia mode dan politik. Pergantian ini bukan sekadar perubahan model, tetapi juga mencerminkan dinamika kompleks di balik layar industri fesyen, terutama saat isu geopolitik ikut mewarnai.
Bella Hadid, yang dikenal sebagai model berdarah Palestina-Amerika, sebelumnya menjadi ikon Dior selama bertahun-tahun. Namun, sikapnya yang vokal dalam menyuarakan dukungan terhadap Palestina dan mengkritik agresi Israel di Gaza, tampaknya berujung pada pemutusan kontrak. Dior, di sisi lain, memilih May Tager, seorang model yang lahir dan besar di Israel, untuk memimpin kampanye parfum terbaru mereka, La Collection Privee.
Pergantian ini mengundang pertanyaan, apakah industri mode akan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan demi kepentingan bisnis? Apakah sikap politik seorang model menjadi alasan untuk dicampakkan, atau justru patut diapresiasi sebagai bentuk kebebasan berpendapat?
Also Read
Masa Kecil di Ganei Tikva Hingga Panggung Internasional
Lahir dan dibesarkan di kota Ganei Tikva, Israel, May Tager tumbuh tanpa ambisi untuk menjadi model. Ketertarikan pada dunia seni lebih mengarah ke akting. Namun, takdir berkata lain. Seorang pencari bakat dari agensi mode melihat potensinya saat ia masih remaja.
Awalnya, May tidak percaya diri dengan penampilannya. Ia bahkan mengakui bahwa ia tidak pernah menganggap dirinya cantik. Meski begitu, ia menerima tawaran tersebut dan mulai meniti karier sebagai model. Perjalanannya tidak selalu mulus. Pada usia 16 tahun, May pindah ke London bersama agensinya. Di sana, ia menghadapi berbagai tantangan, termasuk rasa kesepian dan kesulitan beradaptasi. Namun, kegigihannya membuahkan hasil.
Puncak kariernya datang saat ia berhasil melakukan pemotretan untuk Estee Lauder, sebuah pencapaian besar yang ia raih pada usia 18 tahun. May juga tercatat sebagai model Israel pertama yang melakukan pemotretan di Uni Emirat Arab setelah kedua negara menjalin normalisasi hubungan diplomatik. Pemotretan di gurun Dubai ini menjadi simbol persahabatan dan jembatan budaya.
Lebih dari Sekadar Wajah Cantik
Di balik sorotan kamera dan gemerlap panggung mode, May Tager menyimpan cerita perjuangan dan ketahanan diri. Pengalamannya berjuang melawan kecemasan dan stres saat tinggal di New York City, menunjukkan bahwa dunia modeling tidak selalu seindah yang terlihat. Penyakit fisik dan nyeri sendi yang ia alami menjadi pengingat bahwa tekanan dalam industri ini bisa sangat besar.
Meskipun telah meraih kesuksesan di panggung internasional, May mengakui bahwa hatinya tetap tertambat pada Israel. Ia lebih menyukai pemotretan di negaranya, karena suasana yang lebih akrab dan hangat. Di tengah kesibukannya sebagai model, May tetap memegang teguh akar budayanya.
Dampak Politik dalam Industri Mode
Kasus May Tager dan Bella Hadid menunjukkan bahwa dunia mode tidak bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh politik. Pilihan merek dalam menggandeng model ternyata bisa menjadi pernyataan sikap, bukan sekadar urusan estetika. Keputusan Dior mengganti Bella Hadid dengan May Tager, bisa diinterpretasikan sebagai strategi untuk meredam kontroversi yang ditimbulkan oleh dukungan Bella terhadap Palestina.
Namun, tindakan ini juga memunculkan pertanyaan tentang etika dan tanggung jawab merek. Apakah merek harus memihak dalam konflik politik? Atau, seharusnya merek tetap netral dan menghargai kebebasan berpendapat semua pihak?
Pergantian model Dior menjadi preseden yang akan terus diperdebatkan. Industri mode harus merefleksikan perannya dalam masyarakat, terutama saat isu-isu politik menjadi semakin sensitif. Publik semakin cerdas dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dari merek yang mereka dukung.
Pada akhirnya, kisah May Tager bukan hanya tentang perjalanan seorang model, tetapi juga cerminan dinamika kompleks antara mode, politik, dan identitas. Pergantian model di Dior adalah pengingat bahwa di balik kemewahan dan keindahan, terdapat narasi yang lebih dalam dan patut direnungkan.