Gemuruh sorak penonton di stadion, dulu menjadi makanan sehari-hari Budiono Sutikno. Di era 90-an, namanya dikenal sebagai penyerang haus gol PSIS Semarang. Namun, roda kehidupan berputar, dan kini, mantan pemain bola itu harus bergelut dengan nestapa. Kisah Budiono adalah cermin buram perjalanan hidup seorang atlet, yang redup di usia senja.
Masa keemasan Budiono di PSIS Semarang pada musim 1994-1995, memang patut dikenang. Meskipun timnya terpuruk di papan bawah, ia mampu membuktikan ketajamannya dengan mencetak 11 gol. Keahliannya kemudian membawanya ke PKT Bontang dan Persiba Balikpapan, sebelum akhirnya meredup. Sayangnya, kesuksesan di lapangan hijau tak berbanding lurus dengan kehidupannya di masa depan.
Ironisnya, setelah gantung sepatu, Budiono sempat mencoba peruntungan di dunia paranormal, sebuah pilihan yang membuatnya semakin terlupakan di dunia sepak bola. Bahkan, namanya sempat tercoreng akibat kasus penipuan yang menyeretnya ke meja hijau dan membuatnya mendekam di penjara.
Also Read
Kabar tentang kondisi kesehatan Budiono muncul setelah beredar foto dirinya dalam kondisi memprihatinkan. Diabetes basah menggerogoti tubuhnya, bekas cedera di hidung saat bermain bola belum juga pulih, bahkan katarak mulai menggerogoti penglihatannya. Bukan hanya dirinya, sang istri pun harus berjuang melawan stroke. Kondisi ini memaksa anak-anak mereka untuk mengambil peran sebagai pencari nafkah, dengan menjadi pemulung.
Melihat penderitaan Budiono, banyak pihak tergerak untuk membantu. Para relawan, rekan-rekan sesama pemain, dan mantan pelatih seperti Rahmad Darmawan dan Aji Santoso, tak tinggal diam. Manajemen PSIS Semarang juga memberikan uluran tangan, menyadari bahwa Budiono adalah bagian dari sejarah klub. Namun, bantuan tersebut tak sepenuhnya bisa menutupi kebutuhan keluarga Budiono.
Budiono kini tinggal di rumah susun bersama kedua anaknya. Dulu, ia pernah hidup berpindah-pindah kos karena kesulitan ekonomi. Ketergantungan pada bantuan orang lain dan kondisi kesehatan yang terus menurun, membuat hari-hari Budiono semakin berat. Untuk bisa bertahan hidup, anak-anak Budiono harus rela mengumpulkan barang bekas untuk dijual.
Kisah Budiono Sutikno ini menjadi pengingat bagi kita semua. Bahwa gemerlap dunia olahraga tidak menjamin masa depan yang cerah. Perlu ada perhatian lebih terhadap nasib para atlet, terutama ketika mereka tidak lagi berada di puncak karier. Kisah Budiono adalah juga refleksi dari sistem pembinaan atlet di Indonesia yang perlu dibenahi. Tidak hanya soal prestasi di lapangan, tetapi juga bagaimana mempersiapkan atlet untuk menghadapi masa depan setelah pensiun. Perlu ada pendampingan dan jaminan sosial yang berkelanjutan, agar kisah pilu seperti Budiono tidak terulang di kemudian hari. Budiono bukan sekadar statistik atau nama di buku sejarah sepak bola. Ia adalah manusia yang juga berhak mendapatkan kehidupan yang layak.