Siapa sangka, sebuah kata dalam bahasa Banjar yang bermakna duri ikan beracun, ternyata juga menyimpan keindahan dalam bentuk alat musik? Ya, kita sedang membicarakan "panting," bukan duri yang melukai, melainkan alat musik petik yang menghidupkan tradisi Kalimantan Selatan.
Lebih dari Sekadar Petikan Senar
"Panting," dalam konteks musik, merujuk pada teknik memetik senar dengan sentilan jari. Konon, riwayatnya sudah ada jauh sebelum zaman penjajahan, sekitar abad ke-18. Musik panting awalnya berfungsi sebagai pengiring tarian Japen dan Gandut, menambah semarak suasana dengan irama khasnya.
Pada masa lalu, panting tidak bermain sendirian. Ia berkolaborasi dengan babun, gong, suling, dan rebab, menciptakan orkestrasi yang kaya. Namun, kedatangan biola di Kerajaan Banjar mengubah peta musik tradisional. Rebap pun digantikan, dan biola menjadi bagian tak terpisahkan dari harmoni musik panting.
Also Read
Tiga Senar Bermakna
Di masa awal, panting hanya memiliki tiga senar, masing-masing dengan peran vital. Senar pertama, disebut pangalik, bertugas menyisipkan melodi dalam nyanyian. Lalu ada panggundah atau pangguda yang membangun struktur lagu, dan agur sebagai penentu nada dasar.
Dulu, bahan senar pun sederhana, mengandalkan haduk hanau (ijuk), serat nanas, serat kulit kayu bikat, benang mesin, hingga benang sinali. Namun, zaman berubah. Benang nilon kini jadi pilihan utama karena lebih mudah didapat dan menghasilkan suara yang lebih merdu. Ada pula yang berkreasi dengan kawat, hingga empat senar terbentang di badan panting.
Sempat Meredup, Lalu Bangkit Kembali
Penjajahan Jepang menjadi masa sulit bagi musik panting. Pementasannya nyaris hilang ditelan kesibukan bertahan hidup. Bertahun-tahun setelah Jepang pergi, panting tetap terpinggirkan. Namun, tahun 1984 menjadi titik balik.
Para seniman Kalimantan Selatan melakukan penelitian di Kabupaten Tapin dan menemukan bahwa panting masih sangat layak untuk diangkat kembali. Langkah inovasi dilakukan. Lagu-lagu lama diaransemen ulang, tetap menjaga esensi tradisi namun dengan sentuhan modern. Dan hasilnya? Sungguh di luar dugaan.
Panting berhasil menembus 10 besar festival musik Nusantara. Sejak saat itu, panting kembali merajai panggung musik Kalimantan Selatan. Lahirlah grup-grup musik panting di berbagai pelosok daerah, menghidupkan kembali warisan budaya yang sempat terlupakan.
Lebih dari Sekadar Musik Tradisional
Kisah panting adalah kisah tentang ketahanan budaya. Dari duri ikan beracun hingga melodi yang memikat, panting membuktikan bahwa tradisi bisa beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. Ia bukan hanya sekadar alat musik, tapi juga identitas dan kebanggaan bagi masyarakat Kalimantan Selatan. Panting adalah bukti bahwa musik tradisional tidak pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk kembali bersinar. Ia adalah simbol kekayaan budaya yang layak untuk terus dilestarikan dan dinikmati oleh generasi mendatang.