Gelombang protes dari tenaga kesehatan (nakes) Indonesia beberapa waktu lalu bukan tanpa alasan. Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang kini telah disahkan menjadi UU Kesehatan, menyoroti kekhawatiran mendalam terkait independensi profesi dan perlindungan hukum bagi para garda terdepan pelayanan kesehatan. Mari kita telisik lebih dalam akar permasalahan yang membuat nakes berteriak lantang menolak RUU ini.
Organisasi Profesi: Antara Kebingungan dan Kekhawatiran
Salah satu poin krusial yang memicu penolakan adalah pasal terkait organisasi profesi. Pasal 314 ayat (2) yang menyebutkan satu jenis tenaga kesehatan hanya boleh bernaung dalam satu organisasi profesi, menjadi polemik. Dengan 10 jenis tenaga kesehatan yang kemudian terbagi menjadi 48 kelompok, muncul pertanyaan besar: apakah satu organisasi mampu menaungi seluruhnya? Atau apakah setiap kelompok akan memiliki organisasinya sendiri? Ketidakjelasan ini memunculkan kekhawatiran bahwa organisasi profesi akan menjadi terlalu besar, tidak efektif, dan kehilangan esensi sebagai wadah perjuangan profesi.
Intervensi Pemerintah dan Potensi Hilangnya Independensi
Kekhawatiran para nakes tidak berhenti di situ. Pasal-pasal kontroversial seperti Pasal 206 yang menyerahkan penentuan standar pendidikan dan kompetensi kepada menteri, serta Pasal 239 Ayat (2) yang menempatkan Konsil Kedokteran Indonesia di bawah tanggung jawab menteri, dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah yang berpotensi menghilangkan independensi profesi.
Also Read
Para nakes khawatir bahwa kewenangan yang terlalu besar yang diberikan kepada menteri dapat mengancam independensi organisasi profesi. Dengan hilangnya independensi ini, dikhawatirkan nakes tidak lagi memiliki ruang untuk menyuarakan kepentingan mereka dan memperjuangkan hak-hak pasien.
Rekomendasi Organisasi Profesi Disingkirkan
Lebih jauh lagi, RUU Kesehatan juga dituding mencabut peran organisasi profesi dalam memberikan rekomendasi terhadap calon nakes yang akan melakukan praktik. Pasal 206 yang hanya mewajibkan STR, alamat praktik, dan bukti pemenuhan kompetensi, tanpa perlu surat keterangan sehat dan rekomendasi dari organisasi profesi, dianggap menghilangkan proses penting dalam penilaian etik dan moral calon nakes.
Hilangnya peran organisasi profesi dalam proses ini dikhawatirkan akan membuka celah bagi masuknya nakes yang tidak kompeten dan berpotensi membahayakan pasien.
Ketidakjelasan Definisi Kelalaian dan Polemik Tembakau
RUU Kesehatan juga memunculkan kekhawatiran terkait pasal-pasal lain yang dianggap kontroversial. Pasal 462 yang mengkriminalisasi nakes yang melakukan kelalaian tanpa memberikan definisi yang jelas tentang kelalaian itu sendiri, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan disalahgunakan.
Selain itu, Pasal 154 Ayat (3) yang menggabungkan tembakau dengan narkotika dan psikotropika memicu polemik tersendiri. Hal ini dikhawatirkan akan berimbas pada pembatasan tembakau yang sama ketatnya dengan narkoba, yang dinilai tidak proporsional.
Implikasi dan Refleksi
Penolakan RUU Kesehatan oleh para nakes bukan semata-mata tentang kepentingan profesi, tetapi juga tentang kualitas pelayanan kesehatan dan perlindungan masyarakat. Hilangnya independensi profesi, ketidakjelasan aturan, dan kurangnya perlindungan hukum, dapat berpotensi melemahkan sistem kesehatan secara keseluruhan.
Perlu adanya dialog yang konstruktif antara pemerintah dan tenaga kesehatan untuk mencari solusi terbaik. RUU Kesehatan memang harus ada, namun haruslah berpihak pada kepentingan yang lebih luas, bukan hanya menguntungkan satu pihak. Pemerintah harus mendengarkan aspirasi para nakes dan memperhatikan kekhawatiran mereka, sehingga UU Kesehatan dapat menjadi payung hukum yang melindungi semua pihak dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia.