Sosok Soemitro Djojohadikoesoemo, seorang ekonom handal yang namanya kerap disebut dalam sejarah perekonomian Indonesia, memang menarik untuk dikulik lebih dalam. Bukan hanya karena kiprahnya di dunia politik, tetapi juga ide-ide briliannya yang mewarnai kebijakan ekonomi di era Soekarno dan Soeharto. Mari kita telusuri jejaknya, dari pendidikan hingga kontroversi Gerakan Benteng yang ikonik.
Jejak Pendidikan dan Awal Karir
Lahir pada 19 Mei 1917 di Kebumen, Soemitro menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) dan melanjutkan ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Banyumas. Pendidikan tinggi membawanya ke Belanda, namun sempat terhenti untuk mendalami filsafat dan sejarah di Sorbonne, Perancis. Akhirnya, pada 1942, ia meraih gelar doktor ekonomi dari Sekolah Ekonomi Belanda. Latar belakang pendidikan yang kuat inilah yang kemudian membentuknya menjadi seorang ekonom yang berpengaruh.
Terjun ke Dunia Politik dan Jabatan Strategis
Soemitro tidak hanya berkutat di dunia teori ekonomi. Ia juga terjun ke dunia politik, menduduki jabatan-jabatan penting di bawah kepemimpinan Soekarno dan Soeharto. Beberapa posisi strategis yang pernah diembannya antara lain:
Also Read
- Menteri Keuangan (1955-1956)
- Menteri Perdagangan (1968-1973)
- Menteri Negara Riset (1973-1978)
Jabatan-jabatan ini menunjukkan betapa besar kepercayaan pemerintah terhadap kapasitas dan keahliannya dalam mengelola perekonomian negara.
Gerakan Benteng: Upaya Melindungi Pengusaha Pribumi
Salah satu kontribusi Soemitro yang paling diingat adalah Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Program yang digagasnya pada tahun 1950 ini bertujuan untuk memberdayakan pengusaha pribumi dengan memberikan kemudahan akses kredit dan keistimewaan impor. Tujuannya mulia, yaitu menciptakan keseimbangan ekonomi dan mengurangi dominasi pengusaha non-pribumi.
Namun, dalam pelaksanaannya, Gerakan Benteng tidak berjalan mulus. Ada oknum pengusaha pribumi yang justru memanfaatkan program ini untuk kepentingan pribadi, bahkan menjadi alat bagi perusahaan non-pribumi untuk mendapatkan kredit. Akhirnya, program yang sempat memberikan harapan ini harus diakhiri pada tahun 1953.
Refleksi dari Kegagalan Gerakan Benteng
Kegagalan Gerakan Benteng memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya pengawasan dan integritas dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi. Program yang baik, dengan tujuan yang mulia, bisa gagal jika tidak diiringi dengan mekanisme kontrol yang kuat dan kejujuran dari para pelakunya.
Gerakan Benteng juga menjadi cermin bahwa proteksi ekonomi tidak selalu menjadi solusi instan. Diperlukan strategi yang lebih komprehensif untuk membangun ekosistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Warisan dan Kontribusi Soemitro
Meski Gerakan Benteng mengalami kegagalan, tidak bisa dipungkiri bahwa Soemitro Djojohadikoesoemo tetaplah seorang tokoh penting dalam sejarah ekonomi Indonesia. Pemikirannya, kontribusinya dalam pemerintahan, dan berbagai program yang digagasnya telah mewarnai perkembangan ekonomi Indonesia.
Soemitro wafat pada 9 Maret 2001 di usia 83 tahun, meninggalkan jejak yang akan terus dikenang dalam sejarah bangsa. Ia adalah seorang ekonom yang berani berinovasi, meski pada akhirnya harus menghadapi berbagai tantangan dan kegagalan. Kisahnya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua tentang kompleksitas pembangunan ekonomi dan pentingnya integritas dalam mengelola kebijakan publik.
Semoga artikel ini dapat menambah wawasan kita mengenai sosok Soemitro Djojohadikoesoemo dan perannya dalam perekonomian Indonesia. Jangan lupa untuk terus mencari tahu dan belajar dari sejarah, agar kita bisa membangun masa depan yang lebih baik.