Perbatasan, Cermin Ketimpangan dan Dilema Nasionalisme
Film "Tanah Surga Katanya" bukan sekadar drama keluarga biasa, melainkan sebuah potret getir tentang realita di wilayah perbatasan Indonesia. Kisah Hasyim, seorang veteran pejuang kemerdekaan, dan anaknya, Haris, yang berkonflik soal pilihan hidup, menjadi metafora kuat untuk menggambarkan dilema yang dihadapi banyak warga perbatasan.
Di satu sisi, ada idealisme dan nasionalisme yang dipegang teguh oleh Hasyim. Baginya, tanah air adalah harga mati, terlepas dari segala kekurangan dan keterbatasan. Ia adalah representasi dari generasi yang berjuang merebut kemerdekaan dan rela berkorban demi bangsa. Namun, di sisi lain, Haris, yang mewakili generasi yang lebih muda, melihat realita pahit. Ia melihat bagaimana negara seolah abai terhadap kondisi mereka, sehingga mencari penghidupan yang lebih baik di negeri tetangga, Malaysia.
Film ini secara lugas menyoroti ironi bahwa daerah perbatasan, yang seharusnya menjadi beranda depan negara, justru seringkali terpinggirkan. Infrastruktur minim, pendidikan yang tidak layak, dan kurangnya perhatian pemerintah menjadi masalah klasik yang terus menghantui. Pilihan Haris untuk pindah ke Malaysia, bukan sekadar alasan ekonomi, tetapi juga bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dirasakan.
Also Read
Lebih dari Sekadar Kisah Keluarga
"Tanah Surga Katanya" tidak hanya mengupas soal konflik internal keluarga. Film ini juga membidik masalah yang lebih luas, yaitu ketimpangan pembangunan di Indonesia. Wilayah perbatasan seringkali menjadi contoh nyata bahwa kemerdekaan dan kemakmuran belum merata di seluruh pelosok negeri. Ada kesenjangan yang mencolok antara pulau Jawa dan daerah-daerah terpencil, termasuk perbatasan.
Melalui film ini, Deddy Mizwar seolah ingin mengajak penonton untuk membuka mata. Bahwa, Indonesia yang digambarkan indah dan makmur dalam lagu-lagu kebangsaan, ternyata masih menyimpan luka. Bahwa masih ada saudara sebangsa yang berjuang untuk hidup, pendidikan, dan kesejahteraan yang layak, di tengah minimnya perhatian negara.
Refleksi dan Pertanyaan Penting
Keberhasilan film ini meraih penghargaan di FFI 2012 bukan tanpa alasan. "Tanah Surga Katanya" tidak hanya menyajikan tontonan yang menghibur, tetapi juga memicu refleksi mendalam. Film ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting tentang:
- Sejauh mana negara hadir di wilayah perbatasan?
- Apakah nilai-nilai nasionalisme masih relevan di tengah kesulitan ekonomi dan sosial?
- Bagaimana kita sebagai warga negara dapat berkontribusi untuk mengatasi ketimpangan di negeri ini?
Film ini bukan hanya untuk mereka yang tinggal di perbatasan, tetapi juga untuk kita semua yang mengaku cinta tanah air. "Tanah Surga Katanya" adalah pengingat bahwa perjuangan belum selesai. Bahwa masih ada tugas besar yang harus diselesaikan, yaitu mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebuah pesan yang relevan, bahkan lebih dari satu dekade setelah film ini dirilis.