Aksi kekerasan yang melibatkan anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) di Jalan Tamansiswa, Yogyakarta, pada Minggu malam, 4 Juni 2023, menyisakan noda kelam. Insiden ini bukan hanya sekadar perkelahian jalanan, melainkan sebuah ironi yang menampar wajah sebuah organisasi yang mengklaim diri menjunjung tinggi persaudaraan dan budi luhur.
PSHT, yang didirikan pada tahun 1922 oleh Ki Hajar Hardjo Oetomo di Madiun, memiliki akar sejarah yang dalam dalam perjuangan kemerdekaan. Perguruan silat ini tumbuh dari semangat persatuan dan menjadi salah satu dari sepuluh perguruan yang turut mendirikan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Bahkan, PSHT dikenal aktif dalam berbagai kegiatan IPSI.
Lebih dari sekadar bela diri, PSHT mengklaim pencak silat sebagai jalan untuk menanamkan nilai-nilai luhur, termasuk persaudaraan, seni budaya, dan kerohanian. Organisasi ini juga membuka pintu bagi siapa saja, tanpa memandang ras, suku, agama, golongan, gender, atau usia, bahkan warga negara asing. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" menjadi landasan dalam praktik organisasi ini. Dengan jaringan yang luas, PSHT memiliki komisariat di berbagai perguruan tinggi dan bahkan di sembilan negara di luar negeri. Kabarnya, anggotanya kini mencapai lebih dari tiga juta orang.
Also Read
Namun, tragedi di Tamansiswa, Yogyakarta, mempertanyakan kembali esensi dari persaudaraan yang selama ini diagungkan. Bagaimana bisa sebuah organisasi yang begitu menekankan persatuan dan kesetiaan justru terlibat dalam aksi kekerasan yang meresahkan masyarakat? Pertanyaan ini bukan hanya sekadar mencari siapa yang salah, tapi juga tentang refleksi diri bagi seluruh anggota PSHT dan masyarakat luas.
Tawuran ini menjadi pengingat bahwa nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam pencak silat dan organisasi seperti PSHT tidak boleh hanya menjadi sekadar slogan atau teori. Nilai-nilai tersebut harus diimplementasikan dalam tindakan nyata, dalam kehidupan sehari-hari. Persaudaraan yang sejati bukan hanya ada di antara anggota PSHT, tetapi juga dengan seluruh elemen masyarakat.
Insiden di Jogja ini juga membuka mata kita tentang pentingnya pengawasan dan pembinaan yang efektif di dalam organisasi. Selain itu, penting untuk terus mengingatkan anggota tentang tanggung jawab mereka sebagai bagian dari masyarakat, bukan sekadar anggota sebuah perguruan.
Tawuran ini adalah luka, tetapi juga bisa menjadi momentum untuk introspeksi. Harapannya, PSHT dan organisasi lain yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur, dapat menjadi agen perubahan yang sesungguhnya, bukan justru menjadi bagian dari masalah. Ini adalah tugas bersama, agar warisan budaya dan nilai-nilai luhur tidak ternodai oleh tindakan kekerasan.