Sabtu kelabu, 1 Oktober 2022, Stadion Kanjuruhan Malang menjadi saksi bisu sebuah tragedi kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Pertandingan antara Arema FC dan Persebaya yang seharusnya menjadi pesta olahraga, justru berujung duka mendalam dengan ratusan korban jiwa. Bukan sekadar kekalahan di lapangan hijau, peristiwa ini mengungkap luka terdalam dalam dunia suporter dan penanganan keamanan.
Kekalahan Arema FC 2-3 dari Persebaya di kandang sendiri menjadi pemicu awal tragedi ini. Kekecewaan suporter Arema, yang dikenal dengan sebutan Aremania, memuncak. Beberapa dari mereka turun ke lapangan, melampiaskan amarah kepada pemain dan ofisial. Situasi yang awalnya terlihat sebagai bentuk ekspresi kekecewaan, dengan cepat berubah menjadi aksi anarkis yang lebih luas.
Aparat keamanan yang mencoba mengendalikan situasi, mengambil langkah kontroversial dengan menembakkan gas air mata. Keputusan ini, alih-alih meredam amarah, justru memicu kepanikan massal. Para suporter berhamburan mencari jalan keluar, terutama menuju pintu 10. Di sinilah malapetaka terjadi. Penumpukan massa yang tak terkendali, menyebabkan ratusan suporter terdesak, terinjak-injak, dan mengalami sesak napas.
Also Read
Ironisnya, tragedi Kanjuruhan bukanlah bentrokan antar suporter. Suporter Persebaya tidak diizinkan hadir dalam pertandingan tersebut. Artinya, korban jiwa yang berjatuhan adalah akibat dari penanganan kerusuhan yang tidak tepat, dan kondisi infrastruktur stadion yang tidak memadai untuk menampung massa dalam kondisi darurat.
Data terakhir mencatat, tragedi ini merenggut 125 nyawa, dan melukai 323 orang lainnya. Sebuah angka yang sangat memilukan. Bukan sekadar angka, mereka adalah manusia dengan keluarga dan impian yang harus terhenti di malam yang nahas.
Tragedi Kanjuruhan bukan hanya soal sepak bola. Ini adalah cermin buram dari berbagai masalah yang saling terkait: mentalitas suporter, profesionalisme aparat keamanan, dan standar keamanan stadion yang masih jauh dari kata ideal.
Kita, sebagai bangsa, harus belajar dari tragedi ini. Perlu ada evaluasi menyeluruh dari semua aspek, mulai dari penanganan kerusuhan, regulasi penyelenggaraan pertandingan, hingga peningkatan kesadaran dan edukasi suporter. Jangan sampai, tragedi serupa terulang kembali di masa depan. Sepak bola seharusnya menjadi pemersatu, bukan malah menjadi sumber duka dan air mata. Keadilan dan pertanggungjawaban harus ditegakkan. Nyawa-nyawa yang melayang tidak boleh dilupakan.