Desa Wadas, sebuah permata tersembunyi di Purworejo, Jawa Tengah, mendadak menjadi sorotan publik. Bukan karena keindahan alamnya semata, melainkan karena konflik yang berkecamuk di dalamnya: penolakan warga terhadap rencana penambangan batu andesit. Kisah Wadas bukan sekadar tentang perebutan lahan, tapi juga tentang benturan kepentingan, kelestarian lingkungan, dan suara rakyat yang sering kali terabaikan.
Wadas, yang sebagian besar warganya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, memang menyimpan kekayaan alam yang melimpah. Tanah suburnya bak surga bagi para petani, menghasilkan panen yang menyejahterakan. Tak heran, sebutan "tanah surga" melekat erat pada desa ini. Kondisi ini diperkuat oleh Peraturan Daerah Purworejo Nomor 27 Tahun 2011 yang menetapkan Wadas sebagai kawasan perkebunan, sebuah legitimasi atas potensi agraris desa tersebut.
Namun, ketenangan Wadas terusik oleh Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah tahun 2018 yang menetapkan desa ini sebagai lokasi quarry atau penambangan batu untuk proyek pembangunan Waduk Bener. Keputusan ini bak petir di siang bolong, mencederai tata ruang wilayah yang telah ada dan mengancam mata pencaharian sebagian besar warga. Ironisnya, keputusan ini muncul setelah serangkaian penelitian dan pengambilan sampel batuan andesit yang dilakukan pemerintah sejak tahun 2015 hingga 2017.
Also Read
Yang lebih mengecewakan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) terbit tanpa sosialisasi yang memadai kepada warga. Inilah titik awal perlawanan warga Wadas. Mereka merasa dikhianati, suara mereka tak didengar, dan masa depan mereka dipertaruhkan.
Penolakan warga memang bukan tanpa alasan. Pertambangan batu bukan hanya akan merusak lingkungan, tapi juga menghilangkan mata pencaharian mereka sebagai petani. Lahan pertanian subur yang selama ini menjadi sumber kehidupan akan beralih fungsi menjadi lokasi tambang yang berpotensi merusak ekosistem.
Pemerintah bukannya berdialog dengan warga, malah lebih memilih pendekatan yang dianggap warga sebagai taktik intimidasi. Sosialisasi yang dilakukan justru lebih fokus pada pembangunan Bendungan Bener, tanpa menjelaskan dampak pertambangan yang akan mereka hadapi. Konsultasi publik pun diselenggarakan dengan berbagai drama, seolah hanya formalitas untuk melegitimasi keputusan yang telah dibuat.
Kisah Wadas adalah cermin dari potret pembangunan yang seringkali mengabaikan aspirasi masyarakat lokal. Ini juga menunjukkan betapa pentingnya perlindungan tata ruang wilayah dan pelibatan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup mereka.
Perjuangan Wadas bukan hanya tentang membela tanah kelahiran, tapi juga tentang mempertahankan hak atas lingkungan yang sehat dan mata pencaharian yang berkelanjutan. Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan. Wadas adalah pengingat bahwa suara rakyat tidak boleh diabaikan. Mereka bukan sekadar angka, melainkan bagian penting dari kemajuan bangsa.